Aku Menyerah

5.1K 209 81
                                    

Melihat selang infus yang sudah tidak terpakai lagi di tangan Dela, Devan tampak hawatir.

Cecil hanya diam, memperhatikan dua insan yang saling cinta itu memberi perhatian satu sama lain.

"Dicariin wanitamu, tuh! Pergi sana. Nanti merajuk." Sindir Zaki yang lebih tepatnya ditujukan untuk Dela. Zaki benar-benar tidak menyangka, jika pertahanan Devan akan benar-benar goyah seperti sekarang.

Devan bingung. Di satu sisi ingin menemani Dela, tapi di sisi lain tidak enak pada Cecil. "Cil," panggil Devan.

Cecil membuang muka. Sama sekali tidak ingin melihat pemandangan di hadapannya. "Pergilah, dia lebih membutuhkanmu. Aku sudah biasa sendiri, Mas. Jangan hawatir."

Cecil memasang muka darat. Dia tidak ingin menangis sekarang. Tidak ingin terlihat lemah, baik di depan Devan maupun Dela.

"Terima kasih sudah mengerti." Devan benar-benar tidak melihat luka di mata Cecil. Dia pikir, Cecil ikhlas melakukan itu.

Laki-laki itu pun pergi bersama Dela yang membuat Zaki geleng-geleng kepala.

"Kamu gak papa, Cil?" Tanya Zaki yang pasti sudah sangat paham perasaan gadis itu.

"Sakit, Zak. Sakit sekali. Bawa aku pergi dari dunia ini, Zak. Aku gak mau bertemu orang-orang jahat itu lagi."

Setelah mengatakan itu, Cecil berhambur ke pelukan Zaki. "Abangmu di sini, Cil. Kamu gak sendiri." Ya, Zaki ikhlas, jika dirinya hanya dianggap abang. Asalkan, dia bisa selalu ada untuk Cecil di saat gadis itu terluka.

"Kuatkan aku, Zak."

'kamu yang memberiku kesempatan untuk masuk di hidup Cecil. Jangan salahkan aku kalau aku mengambilnya darimu, Devan.' batin Zaki bergejolak. Lekaki itu sudah tidak ingin mengalah lagi pada Devan.

Tak lama, perawat mengabari jika kamar yang dipesan sudah siap. Mau tidak mau, Cecil harus dipindahkan ke ruang inap.

Di ruang inapnya, gadis itu asik menonton televisi yang menjadi fasilitas VVIP. Sementara Zaki, terus berkutat dengan file di laptopnya. Bagaimanapun, dia harus tetap profesional.

Sejenak, Cecil merasa bersalah, karena sudah menyita waktu lelaki itu. Harusnya, Zaki saat ini berada di kantor. Tapi karenanya, lelaki itu sampai harus bekerja di rumah sakit.

"Zak, maaf, ya. Gara-gara aku, kamu jadi gak nyaman. Masak, orang kerja di tumah sakit."

Mendengar namanya dipanggil, Zaki menoleh sekilas. Melempar senyum pada Cecil, lantas kembali pada laptopnya. "Dengan senang hati."

Di tempat yang berbeda, Devan dan Dela juga tengah menempati ruangan VVIP. Selang infus yang tadinya dilepas, sudah kembali terpasang.

Sedari tadi, Dela tak ingin melepas pegangannya di lengan Devan. Perempuan itu terus merajuk, ketika Devan membujuknya untuk melepas pegangan.

"Del, aku izin sebentar ya? Mau ke ruangan Cecil. Aku mau mastiin kalau dia baik-baik saja."

Mendengar nama Cecil, Dela mencebik. Gadis itu cemburu kala Devan perhatian pada istrinya. Benar-benar uler keket. "Jangan pergi. Nanti aku sendirian. Cecil kan sudah ada Zaki."

Devan mengerang. "Tapi dia istriku, Del. Aku harus melihat kondisinya. Maaf."

Devan bangkit, kemudian melepas tangan Dela paksa. Devan berjalan keluar, menuju resepsionis untuk menanyakan di mana ruangan Cecil. Devan benar-benar dilema sekarang. Dia yakin, saat ini Dela juga pasti merajuk.

"Multazam 07." Setelah resepsionis mengatakan itu, Devan mengangguk dan langsung pergi menuju ruang itu.

Di depan ruangan Cecil, Devan mengetuk pintu. Tapi sahutan dari dalam menyuruhnya langsung masuk, karena menganggap jika itu suster.

"Masuk saja, Sus. Gak dikunci." Suara zaki mendominasi, karena memang dia masih sibuk dengan laptopnya.

Setelah memastikan jika di dalam aman, Devan pun masuk ke dalam.

Cecil yang sempat menoleh ke arah pintu pun dibuat tercengang, begitupun dengan Zaki. Bahkan, lelaki itu sampai berdiri.

"Cil, gimana kondisimu?" Tanya Devan menghampiri Cecilia tanpa mempedulikan keberadaan Zaki.

Cecil tersenyum masam. Mematikan televisi, lalu beralih menatap Devan. "Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja. Ngapain ke sini? Nanti Mbak Dela marah."

Devan heran, mengapa Cecil bisa setegar ini? Bahkan, kalau dia yang diposisi Cecil, mungkin sudah bunuh diri di rel kereta. Dia memang berengsek! Pecundang! "Biarkan saja. Jangan mikirin orang lain. Aku hanya ingin melihat kondisimu."

Cecil tergelak. Lucu sekali? Haruskah dia tertawa? Atau bertepuk tangan? "Oh ya? Wah, kamu perhatian sekali, Mas. Haruskah aku tersanjung? Atau jingkrak-jingkrak? Makasih ya. Tapi aku gak butuh belas kasihanmu. Sekarang sudah lihat kondisiku, kan? Yah, aku baik-baik saja. Jadi ... silakan keluar."

Bukan maksud mengusir, tapi jujur saja. Sangat menyakitkan, menerima keadaannya saat ini.

"Oh, iya. Satu lagi. Besok aku gak jadi ikut reuni. Jadi, kamu gak perlu nyuruh Zaki buat gantiin kamu, Mas. Kamu bisa temui klien sendiri."

Mendengar itu, hati Devan benar-benar hancur. Dia sekarang diliputi rasa bersalah. Padahal, kemarin dia sendiri yang berjanji pada Cecil untuk mengantar gadis itu ke tempat reuni.

Tiba-tiba saja, cecil membekap mulutnya. Dia berlagak seperti orang yang sudah salah bicara. "Aduh, maaf. Aku salah mgomong ya? Kamu kan masih butuh bantuan Zaki. Aku lupa, kalau Mbak Dela juga dirawat di sini. Dia lebih butuh perhatianmu."

Zaki yang sadar jika dirinya hanya akan jadi obat nyamuk, pun pamit pergi dengan alasan mencari makan.

"Cil, aku beli makan dulu ya? Kamu mau nitip?"

Untuk sesaat, Cecil berpikir. Makan cilok kayaknya enak. "Cilok pedes ya, Zak."

Zaki mengacungkan jempolnya, kemudian berlalu.

Setelah kepergian Zaki, Devan tak kunjung pergi.

"Kenapa masih di sini? Gak ikut keluar juga? Aku udah biasa sendiri, kok." Cecil masih berakting untuk tetap tegar, padahal Devan tahu jika Cecil berpura-pura. Dia mau lihat, sejauh mana ketegaran Cecil.

Devan mendekat, mengusap kepala Cecil. Tak ada respon, gadis itu tetap bergeming.

"Sudah pura-puranya?"

Cecil menoleh sekilas. Air matanya hampir luruh. "Maksudnya?"

"Maaf." Satu kata. Hanya satu kata yang mampu Devan lontarkan. Setelahnya, memeluk tubuh Cecil sangat erat. Melepas kerinduan pada gadis yang beberapa waktu telah mewarnai hidupnya yang kelabu.

Tak ada jawaban apa pun, tapi bahunya bergetar. Ya, Cecil sudah tak mampu membendung tangisnya.

"Maaf, sudah membuatmu terluka. Maaf, membuatmu berada di tempat ini. Maaf, membuat kakimu tak mulus lagi."

Cecil menangis tanpa suara. Membiarkan Devan memeluknya lebih erat lagi. Dia butuh kekuatan sekarang. "Luka di kakiku tak sesakit luka di sini, Mas." Cecil menunjuk tepst di bagian hatinya. "kamu jahat! Kamu tega! Aku benci kamu!"

"Kamu pantas membenciku. Aku memang bajingan."

Cecil tiba-tiba meraih pisau buah di atas nakas. Memberinya pada Devan.

Devan menerima dengan dahi berkerut. "Kamu mau aku kupasin buah?"

Cecil menggeleng. "Bunuh aku, Mas. Lebih baik kau tusukkan pisau itu tepat di jantungku. Aku menyerah, Mas. Aku gak sanggup jadi istrimu lagi. Silakan robek jantungku. Setelah ini, kamuu bebas melakukan apapun dengan orang yang kamu cinta."

Cecil menatap Devan nanar. "Lakukan, Mas."

Cemilan mana cemilan? Otak othor ngepul nih. Keripik, enak sepertinya 😄😄

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang