Dengan santainya, Devan berjalan keluar dari kamar itu, tak lupa dirinya mengambil kunci di saku celana, lalu memasangnya di dekat gagang pintu.
Sebelum benar-benar pergi, Devan sempat memberi pesan untuk Cecil. "Istirahat ya, Manis, jangan suka membantah, aku tidak suka. Selamat siang!"
Tanpa membalas ucapan Devan, Cecil membuang muka. Ia arahkan pandangannya ke penjuru arah. "Gak usah sok peduli!" ketusnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada Devan.
Selepas kepergian Devan, cecil terduduk di bawah ranjang, sambil memeluk kakinya yang terbungkus celana jeans berwarna abu. Ia menyembunyikan kepala di balik lengannya yang terlipat. Air matanya meluruh ketika mengingat nasib malang yang dialami. Hidup sebatang kara ternyata tidak mudah. Dulu, Cecil merasa bahagia, meski hidup dalam kesederhanaan.
"Ya Allah, kenapa nasibku malang sekali? Cobaan apa lagi yang harus kuterima."
Utari yang bermaksud mengantar puding buatannya, tak sengaja mendengar keluh kesah Cecil. Hatinya ikut sesak mendengar kesakitan wanita itu.
Utari berjalan menghampiri Cecilia. Tapi Cecil yang belum menyadari kedatangan Utari, masih terus terisak dengan kepala yang ditenggelamkan di balik lengannya.
"Nak," sapa Utari membuat Cecil terkesiap. Sontak hal itu membuat Cecilia mengelap air matanya kasar.
"Eh, Mama. Udah lama di sini?" ucap Cecil gelagapan. Lalu ia tersenyum paksa untuk menghargai Utari.
Utari tersenyum ramah. "Sejak kamu nangis."
Cecil salah tingkah. Wajahnya tersipu malu. "Maaf, Ma," ujarnya lirih
Perempuan paruh baya itu tampak menghapus sisa-sisa air mata di pipi Cecil. "Nggak papa, nangis saja kalau itu bisa bikin perasaan kamu tenang, jangan sungkan sama Mama. Terkadang apa yang kita benci, bisa jadi itu yang terbaik untuk kita di masa depan. Tetap semangat jalani hidup. Biarkan semua mengalir sesuai lajunya."
Cecil tersenyum haru, air matanya kembali tumpah. Benar yang Utari katakan, dirinya memang kurang bersyukur. "Ma, boleh peluk? Cecil rindu pelukan ibu."
Utari mengangguk kemudian berjongkok. Ia menaruh puding buatannya di atas ranjang, tangannya terbuka lebar menyabut Cecil penuh kehangatan. "Sini, Sayang."
Dengan senang hati, Cecil membalas pelukan Utari dengan erat. Cecil terisak merasakan sentuhan Utari. Rasanya sama persis dengan pelukan mendiang ibunya. Semakin dalam dan erat, Cecil pun menyembunyikan wajahnya di pundak Utari, seolah tak ingin kehilangan pelukan itu lagi.
Cukup lama Cecil terdiam menikmati pelukan hangat itu, akhirnya ia memaksakan diri untuk melepaskannya. Ia takut jika perempuan baik itu sesak napas.
"Maaf, Ma. Cecil terbawa suasana. Cecil hanya rindu pelukan ibu."
Utari mengusap pipi Cecil lembut. Wanita itu tersenyum hangat membuat Cecil merasa sangat nyaman bila di dekatnya. "Gak papa. Kalau Cecil rindu pelukan ibu, Cecil bisa peluk Mama sebagai gantinya. Pokoknya, Cecil harus bahagia."
Cecil tersenyum tulus, ia sangat bersyukur dipertemukan dengan orang baik seperti ini. Kadang cecil heran, sikap Devan yang kejam mirip siapa? Padahal mama papanya baik sekali.
Utari berdiri. Mengambil piring berisi puding, lalu mendudukkan dirinya di sebelah Cecil.
"Ma, kok ikut duduk bawah?" cegah Cecil saat utari hendak menyodorkan pudingnya.
"Gak papa, Sayang. Kamu coba dulu deh, puding susu buatan Mama. Nanti kalau suka, Mama bakalan sering-sering masakin buat kamu."
Cecil tersenyum manis. Sesuai permintaan Utari, ia pun mengambil sepotong puding yang tampak menggoda di mataya. Tatanan yang cantik dengan wara yang color full, membuatnya makin berselera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romance"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...