"Mas, aku sumpahin ban motormu bocor!" teriak Cecil dengan emosi naik turun. Kali ini, Devan benar-benar berhasil memainkan adrenalinnya. Mulut Cecil bahkan sampai komat kamit merapal doa, saat Devan dengan lihainya menyalip tronton-tronton di depan mereka.
"Oke, oke. Aku turunin kecepatannya." Devan yang awalnya ingin mengerjai Cecil jadi tak tega, saat melirik kaca spion motor dan mendapati istrinya sangat ketakutan. Perlahan, dia mulai mengurangi kecepatan lajunya.
Saat motor bergerak lebih lambat, Cecil bisa menarik napas lega. Dia juga mengedarkan pandangan ke arah pengendara lain.
"Naik motor seru, Mas. Jadi ingat waktu sekolah." Cecil bercerita dengan antusias. Tapi satu pertanyaan Devan, berhasil membuatnya pucat.
"Dibonceng siapa kamu. Kamu kan gak bisa motoran." Grep! Cecil menutup mulutnya rapat-rapat. Niatnya curhat, malah jadi boomerang.
"Eh, anu." Mata Cecil bergerak gelisah. Otaknya dipaksa keras untuk berpikir jawabannya.
"Anu apa? Dibonceng siapa?" ulang Devan membuat Cecil tak bisa berkilah. Mau tidak mau, hanya kejujuran yang mampu menyelamatkannya. Semoga Devan tidak marah dengan kejujurannya.
"Sama Mas Sean. Dia anak motor, pembalap nasional." Ah, Cecil menepuk dahi setelah mengatakan itu. Kenapa dia jadi membanggakan Sean? Pasti Devan ngamuk besar.
"Jadi kamu bangga, pernah dibonceng pembalap nasional?"
Ah, kan salah lagi. Cecil gak tahu mau bilang apa sekarang. Musuh orang cemburuan memang susah. "Bukan gitu maksud aku. Ah! Kamu mah mancing-mancing. Udahlah, jangan bahas masa lalu terus. Aku capek berdebat terus. Ujung-ujungnya berantem lagi, ribut lagi."
"Kamu yang mancing duluan," tukas Devan.
Tak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Cecil mengalah. "Iya, aku yang salah. Aku yang mancing duluan. Aku minta maaf. Sekarang, kamu fokus nyetir aja, gak usah mikirin yang lain."
Pada akhirnya, Devan luluh saat Cecil kembali mempererat pelukannya. Perempuan itu juga menyenderkan dagunya di bahu Devan, membuat lelaki itu menahan perasaan yang tidak pada tempatnya.
"Dagu kamu jangan nakal. Entar ada yang tegang." Refleks, Cecil menegakkan kepala. Apakah semua laki-laki begini? Atau hanya suaminya yang berbeda?
"Maaf, aku gak sengaja," ucap Cecilia sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri.
Setelah beberapa lama memacu kuda besinya, mereka sampai pada tujuan pertama. Yaitu kedai bakso mercon aneka bentuk. Ada bentuk tumpeng, hati, kotak dan persegi.
Cecil memesan bakso tumpeng porsi jumbo yang sedari tadi menarik perhatiannya. Sementara Devan memesan bakso kotak berisi daging, lemak dan telur puyuh.
Tak lama, pesanan mereka sampai. Cecil membelalak kaget ketika dirinya mendapatkan kuah cabai yang dihidangkan terpisah dengan kuah bakso. Rasanya, ini adalah surga dunia.
"Makasih, Mas," ucap Cecil ramah pada abang-abang pegawai. Mereka hanya tersenyum, tidak menanggapi ucapan Cecil karena tahu jika Devan sudah memandang tidak suka.
"Selamat dinikmati." Setelahnya, mereka pun kembali menjalankan tugas.
Saat Cecil ingin menuang kuah cabai ke dalam pentol, buru-buru Devan mencegah. Dia merampas kuah itu, lalu menaruh di depannya.
"Gak usah! Pakai sambel ini aja, paling banyak dua sendok. Mau mati, makan cabai segitu?" Devan menghela napas, kemudian menyerahkan cepuk kecil berisi sambal yang sudah tersedia.
Sangat tidak ada yang spesial. Apa gunanya Devan mengajaknya ke kedai bakso mercon? Apa Devan benar-benar tidak paham, bagaimana bentuk bakso mercon?
Cecil hanya bisa pasrah, lalu meracik baksonya dengan sambal, kecap dan jeruk nipis. Tapi saat membelah pentol tumpeng itu, matanya kembali berbinar saat mendapati isian di dalamnya. Ada cabe gerus, cabe rawit, pentol kecil, puyu dan cumi-cumi. Sungguh, ini surga. Dengan cepat, Cecil melahapnya, sebelum Devan menyadari.
Baru melahap beberapa biji, Cecil ketahuan. Devan yang tadinya asik memakan bakso, langsung melotot tajam. "Siapa yang nyuruh kamu makan cabai rawit begini, Cil? Pesan yang lain, yang gak pedas!"
Cecil yang hilang kesabaran, akhirnya memberontak. Bahkan tanpa sadar, mereka sudah jadi pusat perhatian. "Ini namanya bakso mercon, Mas Devan. Dinamain mercon, karena cabenya yang meletup-letup di mulut. Kalau aku gak boleh makan cabe, ngapain kamu bawa aku ke sini, suamiku sayang?"
Seketika, orang-orang itu berbisik.
"Ih, suaminya ganteng banget. Perhatian lagi. Aku juga mau jadi istri keduanya."
"Dih, istri gak bersyukur. Dilarang suami malah marah."
Devan yang mendengar Cecil yang dicemooh pun tidak terima. Akhirnya dia mengalah, daripada semakin ribut.
"Ya sudah. Makan saja. Tapi jangan disiram kuah cabe itu. Awas aja kalau bilang gak pedes. Aku kurung di kamar seminggu."
Mendengar itu, Cecil tersenyum manis. Devan sudah memberinya lampu hijau. Tanpa menunggu lagi, Cecil merebut bakso itu dari Devan kemudian mulai memakan dengan lahap.
Sesekali, dia juga menyeruput es doger yang sudah dipesan. Peluhnya berkumpul di dahi mulusnya. "Makasih Pak Suami. Nanti jangan lupa mampir ke bazar. Aku mau borong semua jajanan di sana."
"Ckck! Perut saja yang dipikirin. Tubuh juga perlu dirawat. Pake skincare, baju baru, lipstik, parfum. Yakin gak mau ke mall?" Devan mengeluarkan dompet, lalu menyerahkan pada Cecil sebuah kartu debit yang diyakini memiliki jumlah saldo yang fantastis, meski itu bukan black card.
Dengan kepedesan, Cecil memaksakan bicara. Dia menggenggam tangan Devan, lalu menolak kartu itu. "Nggak usah! Aku udah cantik. Aku gak mau numpuk baju yang gak digunain sehari-hari. Mending uangnya buat neraktir aku jajan. Jajanku kuat. Aku juga masih belum puas menikmati makanan enak."
Cecil terkekeh. Sementara, banyak pasang mata yang ingin berada di posisinya. " Disuruh shopping , gak mau. Dasar gadis naif. Bahkan, uang ini saja gak akan habis traktir jajanmu. Orang yang kamu pikir cuman makanan."
"Ya biarin. Aku lebih mentingin isi perut dari pada gengsi. Makan gengsi gak bikin kenyang. Meski aku nikahin orang kaya, tapi aku gak mau lupa asalku dari mana. Tolong jangan manjakan aku dengan uang. Karena aku takut, jika uangmu habis, maka cintaku juga akan menghilang." Cecil kembali menyeruput esnya. "Bukannya aku gak mau, tapi aku gak bisa lihat baju-baju itu menumpuk di lemariku. Aku hanya akan membelinya, saat aku yakin kalau bakal terpakai sehari-hari. Aku gak mau uang itu terbuang mubazir. Aku tahu susahnya cari uang. Bahkan, aku sampai jadi istri kontrakmu demi biaya ibuku."
Devan tersenyum, mengembalikan kartunya ke dalam dompet lalu memandang Cecil serius.
Cecil yang ditatap seperti itu mendadak kikuk. Dia mencoba mengedarkan pandangan untuk menutupi kegugupannya.
Devan membawa tangan Cecil ke dalam genggamannya. "Ngapain gugup? Santai saja. Inilah alasanku kenapa berani menikahimu. Kamu itu sederhana dan gak neko-neko. Aku mampu memberikan kamu kehidupan yang glamor, tapi nyatanya kamu masih tetap memilih kesederhanaan. Kamu gadis yang unik, aku suka."
Tidak peduli, Cecil malah menarik tangannya dan lebih tergoda untuk melanjutkan makan daripada baper. "Terima kasih, tapi satu pujianmu, gak akan bikin aku besar kepala, Mas Devan. Aku gak akan tersanjung."
Ejek Cecil membuat Devan mengacak rambutnya. "Gadis menyebalkan! Bazarnya di cancel."
Cecil yang baper langsung melotot tajam sebelum akhirnya cabai rawit merah merona itu berakhir di mulut Devan. "Mulutmu pedas! Sepedas cabai. Berani cancel, aku ajak Zaki kencan."
Diam satu detik, dua detik, tiga detik. "Pedas Cil!" teriak Devan kepedean lalu menyambar es doger milik Cecil karena minuman yang dia pesan adalah jeruk hangat.
"Kapok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romance"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...