Mata indahnya bergerak gelisah. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. Masalahnya, seminggu bukanlah waktu yang lama untuk melangsungkan pernikahan kontraknya.
Cecil menatap nyalang. Devan tahu jika calon istrinya itu ingin protes, tapi semua sudah terlambat. Tidak ada lagi penundaan, semua akan berlangsung minggu depan.
Untuk mengusir kecanggungan ini, Devan sengaja mengajak gadis itu pulang. Dengan dalih ingin kembali ke kantor, anak tunggal dari keluarga Nicolas pun pamit.
"Ma, Pa, Devan harus antar Cecil kembali ke kantor. Sebentar lagi kita ada meeting penting."
Devan mengedipkan matanya. Da memberi isyarat agar Cecil mau membantunya kerja sama.
Cecil yang paham dengan kode Devan, Dia pun berpura-pura melihat jam yang Dia kenakan. "Oh, sudah jam 1, Ma, Pa, Cecil dan Mas Devan harus kembali ke kantor. Ada meeting dengan klien luar negeri. Lain kali Cecil masakin makanan enak."
"Ya sudah, balik gih! Nanti telat,"sahut Utari.
Cecil pun berdiri, merangkul Utari dengan sayang, "Cecil balik dulu ya, Ma" lalu berganti menyalami Nicolas. "Pa, Cecil pamit."
"Hati-hati di jalan, Nak."
Dengan senyum yang mengembang, Cecil berlalu meninggalkan orang tua Devan.
Sesampainya di mobil, gadis itu menggerutu. Dia menatap sengit ke arah calon suaminya itu
"Pak Devan kenapa iya-iya aja sih? Satu minggu itu waktu yang singkat! Bapak sengaja mau jebak saya?!"
"Sssttt! Panggil saya Mas Devan! Biasakan manggil aku kamu! Setelah menikah nanti, kamu tidak bisa memanggil saya seenaknya! Paham?"
Cecil meringis, alisnya pun ikut bertaut. "Oke, Mas Devan! Itu soal gampang. Tapi masalahnya, pernikahannya gimana? Masa cuman satu minggu?"
Devan mengangkat bahu acuh tak acuh. "Bukan urusanku!"
"Ihhhh!" Cecil yang kesal pun langsung gondok, "anterin aku ke apartemen saja. Aku mau tenangin diri."
Devan pun hanya diam. Dia tahu jika Cecil sedang menahan marah. Lebih baik, Dia tidak meladeni daripada gadis itu semakin emosi.
***
Sepoi angin sore menenangkan. Sosok perempuan tengah duduk di balkon kamar, ditemani secangkir teh panas dan pemandangan senja yang hampir tenggelam. Keributan angin membuat beberapa helai rambutnya ikut menari-nari, bak penari ketika mendengar iringan melodi.
Tak sampai di situ, dering ponsel mengalihkan atensi si gadis. Kontan, ia bangkit dan menutup pintu balkon, menuju kasur. Tubuhnya dihempas di atas singgasana empuk tersebut. Lantas sepasang netranya, menatap langit-langit kamar seraya mengembuskan napas panjang.
Pandangan si gadis benar-benar teralihkan sebab dering ponsel di tangannya. Ia berdecak sebal, kemudian bangkit dari posisi tidurnya. Duduk sembari menata rambutnya yang berantakan usai tertiup angin.
"Apa?!" ucapnya mengawali percakapan. Nada yang ia keluarkan ketus. Siapa saja pasti akan mundur ketika mendengarnya. Mungkin anggapan singa tengah kelaparan, cocok untuk si gadis tersebut.
Sementara di seberang, seorang pria tampan mengembuskan napas berat. "Cepat bersiap! Aku akan menjemputmu setengah jam lagi."
Decakan kasar timbul dari bibir Cecil. Netranya beralih menatap jam dinding yang tertempel apik.
"Ckck! Ke man--" Saat hendak membalas ucapan dari orang yang meneleponnya, sambungan terputus.
"Hallo, hai? Duh, kebiasaan!" Rasa kesal di hatinya kian membuncah. Namun, gadis itu hanya mendesah panjang. Segera beranjak menuju kamar mandi setelah mendengar seruan azan. Bergegas untuk membersihkan diri sebelum pria itu benar-benar datang dan menyeretnya paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Roman d'amour"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...