Sedikit demi sedikit, gunting dengan Permukaan tajam itu mulai menggores nadi Cecilia. Menimbulkan bekas kemerahan di tangan mulusnya.
Cecilia mulai memejamkan mata, dia tak sanggup jika melihat darah yang nantinya akan mengalir deras dari titik kehidupannya.
"Maaf, Ibu," monolognya dengan lirih dan parau.
Tiba-tiba saja, pintu diketuk dengan lembut. Cecil terhenyak gelagapan. Buru-buru gadis itu membuang guntingnya dan menarik sweeter dari gantungan lalu memakainya untuk menyembunyikan bekas kemerahan di tangannya.
Gadis itu bergerak gelisah, seiring dengan ketukan yang semakin keras. Dia yakin jika itu adalah Utari.
"Cecil, buka Nak. Ada yang mau Mama bicarakan!" teriak Utari dari luar Karena tak kunjung mendapat sambutan dari Cecilia.
"Sebentar, Ma," sahut Cecil dari dalam. Gadis itu beranjak dari tempatnya, lalu berjalan ke arah pintu dan menyambut Utari dengan senyuman.
"Masuk, Ma. Kita bicara di dalam saja." Cecil membuka pintunya lebar-lebar. Setelah memastikan calon mertuanya masuk ke dalam, Cecil kembali menutup pintu. Dia tidak ingin ada yang menguping pembicaraan mereka.
Cecil membawa kakinya mendekat pada Utari yang sudah terlebih dahulu duduk di atas kasur. Dia pun mengikuti perempuan itu mendaratkan bokongnya di sana.
"Mama mau bicara apa? Sepertinya penting." Cecil membuka percakapan. Membuat Utari tergerak untuk memiringkan posisinya menghadap Cecilia.
"Nggak penting-penting banget kok. Santai saja. Mama cuman mau tanya, besok kamu mau pakai riasan yang bagaimana? Yang modern apa yang adat-adat gitu? Mama punya dua rekomendasi rias pengantin buat kamu."
Cecil membuka mulutnya. Gadis itu sedikit ternganga, kenapa sampai harus selebai itu? Memang terkesan tidak sopan, tapi Cecil tidak berpikir sejauh itu.
"Ah, gak usah lah, Ma. Nanti Cecil rias sendiri saja. Kalau cuman rias sederhana, gak perlu pakai jasa make up art. Cecil bisa kok. Lagian, Cecil mau yang sederhana saja. Toh, cuman buat akad nikah. Bukan buar resepsi." Cecil meyakinkan Utari. Gadis itu menautkan jemarinya, memaksakan senyum yang sedikit muram.
Utari membalas sentuhan tangan Cecil, dengan memegang pergelangan gadis itu. Sontak, Cecilia meringis kesakitan, karena di sana masih ada bekas cap gunting yang bergaris kemerahan. "Aww."
Utari tersentak. Mengapa Cecil meringis begitu, padahal Utari sama sekali tidak melukai dirinya. "Ada apa, Nak? Kok merintih?"
Cecil menggeleng pelan, meski kebohongan tampak jelas di matanya. Naluri seorang ibu memang tidak bisa dibohongi, meski bibirnya mengatakan tidak apa-apa, tapi sorot matanya menangkap masalah. "Sini, tangan kamu."
Utari menyibak sweeter berlengan panjang yang cecil kenakan. Raut wajah Cecil, seketika panik, dan itu membuat Utari semakin curiga.
Utari membelalakkan mata, melihat nadi Cecil yang hampir berdarah. Goresan merah yang berbentuk melingkar, lalu titik-titik kecil hampir mengeluarkan darah, membuat wanita paruh baya itu memekik panik. "Cecil! Apa ini?"
"A--anu, ma." Bola mata Cecil bergerak gelisah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya untuk menetralkan rasa panik yang menyerang.
Tak kunjung mendapat jawaban, Utari mengedarkan pandangannya. Dan betapa terkejutnya, kala dijumpai gunting yang dilempar asal di bawah lantai. Utari marah, tapi dia masih berusaha menahan amarahnaya.
Utari beranjak, mengambil gunting yang tergeletak, lantas buru-buru meminta penjelasan dari calon menantunya. "Gunting? Apa ini, Cil! Jangan bilang--"
Cecil merunduk dalam. Matanya tak berani menatap Utari. Gadis itu benar-benar merasa bersalah sekarang. "Maafin Cecil, Ma. Cecil--"
Tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya, gadis itu melayangkan pelukan di tubuh Utari. Mencari kekuatan dari seseorang yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri. "Astaghfirullah, Nak."
"Maaf, Ma. Cecil hilaf. Cecil gak bermaksud ngelakuin itu. Cecil cuman merasa, hidup ini gak adil untuk Cecil. Jadi, mengakhiri hidup mungkin lebih baik."
Utari melepaskan pelukannya, meminta gadis itu untuk menenangkan dirinya. "Duduk, Nak. Cerita pelan-pelan sama Mama."
Tanpa keraguan, Cecil membuka suara. Berniat menceritakan apa yang dia rasakan saat ini. "Kebahagiaan Cecil sudah berakhir, Ma. Saat ini hanya ada derita yang Cecil rasa. Ayah, ibu, dan semua kebahagiaan Cecil pergi. Cecil gak sanggup lagi di sini. Cecil mau ikut mereka saja." Cecil memegang dadanya yang terasa sesak. Isak tangisnya, membuatnya susah bernapas.
Melihat Cecilnya terluka, hati Utari juga ikut nencelos. Semenyakitjan itukah? Apa gadis itu tidak bahagia dengan keberadaan dirinya sekeluarga. "Apa Cecil tidak bahagia, tinggal di sini sama Mama dan yang lain? Kenapa Cecil berpikir begitu, Nak. Kami bahkan sangat menyayangimu. Menganggapmu seperti putri sendiri."
Cecil tahu, perasaan Utari saat ini pasti terluka. Ucapannya memang sedikit kelewatan, tapi ... inilah kebenaran yang ia rasakan. "Maafin Cecil, Ma. Bukan begitu maksud Cecil. Keluarga ini sudah sangat baik sekali. Cecil bahagia. Tapi ... Cecil merasa kebagian ini sangat hampa. Meski Cecil sudah berusaha menerima takdir Cecil, namun tetap saja terasa sulit untuk Cecil jalani."
Utari merengkuh tubuh mungil itu. Menyalurkan kekuatan dari setiap usapan tangan di kepala gadis itu.
"Apapun yang terjadi, hidup Cecil harus tetap berjalan. Cecil gak boleh menulis takdir Cecil sendiri. Mama gak akan ridho jika Cecil melakukan ini sekali lagi. Jangan diulang ya, Nak. Cecil gak mau kan, kalau Tuhan sampai murka? Tuhan gak suka dengan orang-orang yang mendahului takdir."
Cecil mengangguk, membalas pelukan itu tak kalah erat. Membiarkan dua raga berbeda usia itu menempel jadi satu. "Cecil beruntung, mendapat mertua seperti Mama."
"Siapa pun jodoh Devan, menantu Mama harus kamu! Bila perlu, Mama akan selalu menyogok Tuhan dengan doa-doa yang Mama langitkan."
Kedua perempuan itu saling tatap, melepas pelukannya dan terkekeh bersama. Tapi dalam hatinya, Cecilia tersenyum getir. Apa mungkin dia sanggup mematahkan hati wanita baik ini, jika suatu saat, Devan akan menceraikannya? Ya! Perceraian itu pasti akan terjadi, sesuai isi kontrak yang telah disepakati.
Hati cecil mendadak goyah. Apa ia katakan saja, soal kontrak pernikahan itu? Setidaknya, dengan kejujuran itu, sakit hati Utari bisa sedikit terobati nantinya. Dan perempuan itu, bisa mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu putranya akan menceraikan cecilia.
"Ma, Cecil mau bicara," ucap Cecil ragu-ragu.
Alis utari bertaut. "Bukankah sedari tadi kita sudah bicara? Obrolkan saja."
"Sebenarnya ...." Lidah Cecil mendadak kelu. Dia tidak sanggup melukai hati Utari lagi. Mengetahui jika dirinya mau bunuh diri saja, hati Utari sudah sangat terluka. Apalagi menceritakan kebejatan sang putra yang mengajaknya nikah kontrak?
"Kenapa, Sayang? Kok berhenti. Ayo lanjutkan."
Cecil menggeleng, sambil tersenyum manis. Pura-pura semuanya baik-baik saja. "sebenarnya, Cecil mau bilang, kalau nanti malam Cecil gak ikut makan bareng di meja makan. Cecil gak mau ketemu sama Mas Devan sampai besok acara. Kata orang dulu, pamali kalau calon mempelai sering bertemu sebelum sah. Jadi, Cecil minta tolong, suruh Mbok saja yang bawa makan Cecil ke sini."
"Cuman itu? Gak ada lagi?" Tanya Utari penuh selidik.
Cecil menggeleng.
"Ya sudah, nanti Mama suruh Mbok datang ke sini. Mama keluar dulu, kamu istirahat yang cukup ya. Biar besok, bisa kuat bikin cucu untuk Mama."
Sambil berjalan keluar, sambil mengedip pada Cecilia.
Cecil sendiri pura-pura tersipu. Lalu setelahnya, ia berlagak seperti orang ingin muntah, selepas kepergian Utari dari kamarnya. "Hoek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Romance"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...