28. Di manakah Surga?

5K 234 1
                                    

Di dekat Cia, Devan dan Cecil saling melempar ledekan. Ketiganya tertawa lepas bak tak ada beban. Setelah melihat apa yang dialami Cia, Cecil merasa lebih bersyukur sekarang. Ternyata masih banyak orang yang masalahnya lebih besar.

Cecil memanggil Cia. "Cia, sini deketan sama Kak Cecil. Kak Devan bau, belum mandi."

Wajah Devan ditekuk masam. Tidak terima mendapat ledekan, Devan bangkit. Sengaja menghampiri Cecil, dan memiting perempuan itu di dalam ketiaknya. "Nih, Cium."

Cecil meronta-ronta. Cia yang di dekatnya hanya tertawa cekikikan melihat ulah Cecil dan Devan. "Cia, tolongin Kakak. Kak Devan bau ketek."

Setelah puas memberi pelajaran pada Cecil, barulah Devan melepasnya. Devan menatap Cecil tajam, lalu beralih menatap Cia. "Cia mau digituin juga?" Devan mengedipkan satu matanya.

Cecil yang terlepas, akhirnya bernapas lega. "Jangan mau, keteknya bau, Cia."

Dengan malas, Devan memutar bola mata. Dia tidak segan-segan memberi pelajaran pada Cecil. Devan kemudian merangkul gadis itu, berniat memberinya pelajaran lagi. "Belum kapok ya?"

Tak ingin sesak napas lagi, Cecil langsung memohon. "Ampun, ampun. Janji gak ngeledek lagi."

Cia yang ingin membantu Cecil, mendekat pada Devan. Memintanya untuk menggambar bersama agar perhatian lelaki itu teralihkan. "Kak Devan, gambar bareng yuk!"

Berhubung Cia memohon, mau tidak mau Devan mengiyakan. Dirinya mengambil pensil warna, mendekat pada Cia dan menggambar bersama.

Cecil yang melihat pemandangan ini merasa adem. Dengan anak kecil saja bisa sebaik ini, apalagi dengan anak sendiri. Tanpa sadar, pikiran Cecil menerawang jauh, membuatnya bergidik. "Astaga, apa yang kamu pikirkan Cecil." Batinnya.

Selama menggambar, mereka terlihat asik, hingga Cecil menyadari ada yang menetes dari atas.

Cairan segar berwarna merah mengalir ke bawah, mengotori kertas putih yang belum tergambar oleh warna.

Cecil mendongak, dilihatnya Cia yang tengah menutup hidung dengan tangan mungilnya.

Cecil yang mulai panik, pun memberi tahu Devan. Sementara, Devan sendiri belum menyadari jika Cia tengah mimisan. "Darah, Dev." Jari cecil menunjuk pada tetesan darah yang mulai mengering.

Tanpa banyak bicara, Devan langsung melihat ke sumber darah itu berasal. Devan terkejut bukan main melihat Cia meringis menahan sakit. Dengan cepat, Devan berteriak pada ibu panti. "Bu, tolong ambilkan obat Cia. Cia mimisan!"

Ibu panti yang mendengarnya pun langsung panik. Dengan cepat, dia mengambil obat yang disimpannya untuk Cia.

Untuk menghentikan aliran darahnya, Devan menyuruh Cecil melepas cardigan yang selalu dibawanya berpergian. "Cil, lepas cardiganmu!"

Tanpa pikir panjang, Cecil mengangguk. Meski itu adalah cardigan kesayangannya, tapi demi sebuah nyawa, dia rela memberinya.

Cecil melepas cardigan tipis itu, lalu memberinya pada Devan. Sementara Cia terlihat lemas, bahkan hampir ambruk di pangkuan Devan. Devan yang sigap, pun membaringkan Cia di pangkuannya. "Bertahan, Sayang. Jangan takut."

Tak terasa, air mata Cecil mengalir. Ia tidak tega melihat Cia seperti ini. Cia masih terlalu kecil untuk mendapat penderitaan sebesar ini. Apa salahnya, Tuhan?

Dengan cepat, Cecil mengusapnya kasar. Dia tak ingin membuat Cia atau siapa pun yang melihatnya menangis menjadi sedih.

Dengan sekali mengeluarkan tenaga, Devan merobek cardigan itu menjadi dua, lalu membiarkannya menyumpal hidung Cia hingga darahnya terhenti.

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang