Zaki sedikit memberi ruang, untuk bosnya yang sedang dipengaruhi luapan emosi. Ia pun pamit undur diri dari ruangan sang pemilik perusahaan.
"Tenangkan dirimu, Van. Aku kembali ke ruangan dulu."
Devan hanya melirik sepintas, lalu mengangguk lemah. "Silakan."
Setelah mendapat izin dari sang atasan, Zaki pun beranjak meninggalkan ruangan ber AC itu.
"Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumussalam."
Devan hanya bisa menatap punggung Zaki yang menghilang di ambang pintu.
Sepeninggal Zaki, Devan berusaha mengalihkan pikirannya soal Dela. Seketika, fokusnya tertuju pada Cecil. Entah mengapa, bayangan sosok Cecil tiba-tiba terlintas di kepalanya.
"Sedang apa gadis itu sekarang?" gumamnya lirih pada diri sendiri.
Tanpa berlama-lama, Devan bergegas menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Jarinya yang lincah, berkutat mencari kontak Cecilia di sana.
Setelah berhasil menemukan kontak Cecil, Devan langsung menekan tobol dengan gambar gagang telepon yang tertera.
Di tempat yang berbeda, Cecil terduduk di atas ranjang. Dirinya asyik bergelut dengan lamunannya. Entah apa yang sedari tadi diperkirakan, tapi yang jelas ia tidak ingin diganggu.
Berkali-kali ponselnya berbunyi, tapi dirinya tetap tak acuh. Enggan, meski hanya sekedar menggeser tubuhnya.
Dering ponsel dibiarkan mati. Tak lama, ponsel kembali berbunyi, membuat Cecil terusik. Gadis itu mulai bergeser mengambil ponselnya yang sedikit berjarak. "Haduh, siapa sih yang telepon? Gak tahu orang lagi sedih apa?"
Setengah tak ikhlas, Cecil meraih ponselnya lalu mengintip sekilas nama penelepon di balik layar.
Alisnya bertaut kala nama Devan muncul di sama. "Pak Devan?" ujarnya lirih.
Dengan cepat, Cecil menekan tombol hijau sebelum bosnya marah-marah. Namun sebelum itu, ia berusaha menahan isak agar tidak ketahuan habis menangis.
"Hallo, ada apa?" ujarnya malas dengan suara yang berat.
Tidak menjawab, Devan lantas menuding Cecil. "Kamu habis nangis?"
Cecil tampak gelagapan. "G-gak kok! Jangan sotoy! Cepat kasih tahu, ada apa Pak Dev telepon?"
Devan mengulangi pernyataan Cecil. "Pak? Coba ulang sekali lagi."
Cecil menyanggupi perintah Devan. "Ada apa Pak Dev telepon saya?"
Rahang kokoh Devan mengeras. "Sudah dibilang, jangan panggil Bapak lagi, Cecilia! Kamu itu calon istriku. Bandel amat dibilangin."
Cecil menarik napas dalam-dalam. Tak ingin berdebat, ia memilih untuk mengalah.
"Oke, aku minta maaf. Langsung saja ke intinya, ada apa Mas Devan telepon? Ngajak ribut lagi?"
Suara Cecil yang bergetar, memperjelas dugaan Devan jika gadis itu habis menangis.
Tidak ada jawaban dari Devan, Cecil kembali mengulang pertanyaannya. "Ada apa?"
"Kamu siap-siap! Bentar lagi aku jemput!" putus Devan tak terbantahkan.
Cecil yang malas ngapa-ngapain, menolak tegas perintah bosnya. Gadis itu sama sekali tidak ingin diganggu, ia ingin di rumah saja.
"Gak! Aku mau istirahat saja! Aku gak enak badan," ujarnya penuh dusta.
Tentu saja Devan tidak akan percaya begitu saja. Dirinya tahu jika Cecil tengah berbohong. "Siap-siap sekarang, atau aku akan pulang dan mengganti pakaianmu dengan paksa!" Mendapat ancaman seperti itu, Cecil tertegun. Dengan susah payah, gadis itu menelan salivanya.
"I-iya, aku siap-siap, sekarang."
Devan mematikan sambungan teleponnya sepihak, membuat Cecil mengerang kesal. Sebenarnya, Devan tidak berniat mengajak Cecil keluar. Tapi setelah tahu jika Cecil habis menangis, ia pun berusaha menghibur Cecilia dengan caranya, meski terlihat menjengkelkan, tapi setidaknya perempuan itu bisa melupakan sedikit kesedihannya.
Di tempatnya, cecil beranjak dari ranjang dengan tergesa. Ia bergegas mengganti pakaiannya dengan yang lebih layak sebelum Devan datang dan mengganti pakaiannya dengan paksa.
Setelah dirasa mendapatkan baju yang sesuai, Cecil melepas bajunya. Tak lupa ia mengunci pintu agar tidak ada yang masuk lalu melihatnya dengan kondisi seperti itu.
Cecil terlihat anggun dengan balutan dress selutut berlengan pendek dengan tali yang terdapat di bagian perutnya.
Dres berwarna biru laut yang dipadukan dengan sneaker putih membuat penampilannya semakin casual. Tak lupa Cecil menyisir rambutnya yang panjang dan lebat, lalu menyelipkan jepit rambut bermotif bunga pada rambutnya sebelah kanan.
Sangat manis! Cecil tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Meski terlihat anggun, Cecil mengernyit bingung. Diperhatikan lagi penampilannya dengan saksama. Ia berusaha mencari kekurangan dalam dirinya. "Apa ya?"
Dari kaki sampai bahu, tidak ada kekurangan apa pun. Semuanya tampak sempurna. Tapi setelah diperhatikan lagi, ada yang aneh dengan wajahnya. Bibirnya tampak memutih, wajahnya pucat seperti orang sakit.
"Aku kok kelihatan pucat gini sih?" ujarnya bermonolog.
Tanpa membuang waktu, Cecil berjalan menuju kopernya, mengambil tas make up pada resleting paling kecil, lalu membawanya menuju meja rias.
Diambilnya sebuah liptin dengan warna pink kalem yang tidak terlalu mencolok, lalu dibukanya dan dioleskan di atas bibir pucatnya. Setelah memberikan beberapa oles, bibirnya menjadi pink natural. Cecil tersenyum puas, tanpa sadar bibirnya melontarkan sebuah pujian. "Ternyata, aku cantik juga ya? Dari dulu ke mana saja, Cecil, sadar dong, kamu itu cantik!" Cecil kembali merenung, menatap dirinya sekali lagi di cermin. Detik berikutnya, matanya berubah nanar, senyumnya terasa getir. "tapi sayang, nasibmu tak secantik parasmu! Bahkan, sangat mengenaskan," lanjutnya dengan suara memelan.
Cecil berusaha menahan air matanya, kala buliran bening itu hampir keluar dari sepasang kelereng bundar miliknya.
"Ayo dong, Cil! Jangan mewek gini." Sambil mengibas-kibaskan tangannya di depan mata, berharap agar air matanya cepat mengering, tapi percuma saja, tidak ada yang berubah.
Cecil pun memilih untuk duduk di tepi ranjang, sembari menunggu Devan datang, gadis itu berusaha mengalihkan pikirannya.
"Cecil, kamu harus kuat! Ini belum seberapa! Kesengsaraan sesungguhnya akan dimulai setelah kamu menjadi istri Devan! Kamu harus tahan banting, kamu gak boleh lemah! Semangat, Cecil!"
Berkali-kali, Cecil berusaha menyemangati diri sendiri, meski semua itu dirasa sangat percuma, karena penyemangatnya sudah pergi lebih dulu.
Tak lama, ponselnya bergetar. Dilihatnya nama Devan tertera di layar telepon. Dengan malas, Cecil pun mengangkat panggilan. "Halo," sapanya tak bersemangat.
"Sudah siap?"
"Udah, orang tinggal ganti baju doang."
Devan terkekeh. "Pintar! Gak usah cantik-cantik, dandannya lama!"
"Bawel! Buruan pulang, udah sampe mana?"
"Sabar! Ini masih di jalan, 10 menit lagi, sampai."
Cecil memutar bola matanya jengah, tau gitu dirinya gak usah buru-buru. "Lama! Gitu kok nyuruh orang cepet-cepet, dirinya sendiri lelet!"
"Dibilang sabar!"
Cecil menghembuskan napas beratnya. Rasanya ingin sekali ia memakan bosnya yang semena-mena itu. "Ya sudah, cepetan! Aku tunggu."
"Iya, bawel!"
Cecil yang kelewat kepo, sontak bertanya pada Devan. "Sebenarnya mau ke mana sih? Panas-panas gini ngajak keluar!"
"Kita bahas nanti. Jangan ganggu aku nyetir, oke?"
Devan memutus sambungan telepon sepihak, membuat Cecil mengerang kesal. Ia pun menghentakkan kakinya di atas kasur. "Ih! Dasar aneh! Orang dia yang telepon, malah ngatain aku ganggu nyetir! Aku sumpahin gak bisa kentut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)
Roman d'amour"Jika hartaku tidak bisa membuatmu luluh, maka kupastian benihku akan tertanam di rahimmu," ucap Devan semakin menekan tubuh Cecil dalam tindihannya. . "Jangan. Aku mohon!" Devan semakin gila. "kembali padaku, atau aku akan menghamilimu!" "Aku tida...