Rencana Honeymoon

4.5K 150 2
                                    

Devan kelewat jujur. Utari sampai malu sendiri dibuatnya. Sementara Cecilia menyenggol lengan Devan agar lelaki itu tidak bikin malu. "Mas. Malu ih!"
.
"Sama Mama ngapain malu? Mama juga udah paham. Wong dia pernah muda." Cecil benar-benar tak punya muka sekarang. Dia sampai salah tingkah dengan ulah suaminya.

"Mulutnya." Geram Cecil.

Utari sendiri hanya bisa menahan tawa. Anaknya ini memang seloroh. "Tenang, Cil. Mama paham, kok. Devan memang begitu anaknya. Selengekan."

"Siap, Ma. Oh iya. Mama mau bicara apa?"

Utari tersenyum, hampir lupa dengan maksudnya. "Kita bicara di ruang keluarga saja ya? Kita diskusi juga sama papa."

Cecil mengangguk. "Baik, Ma." Setelahnya, mereka sama-sama keluar untuk membahas bulan madu Devan dan Cecil di ruang keluarga.

Sesampainya di sana, sudah ada Nicolas yang sudah menunggu.

Dengan senyum hangatnya, Cecilia menyapa papa mertuanya itu.

"Pa."

Nicolas membalas senyum Cecil. Setelahnya, dia langsung menyuruh semuanya untuk duduk.

Utari berdehem sebentar, sebelum menyampaikan niatnya.

"Ekhem. Begini, Cil, Van. Mama dan Papa, rencana mau nyiapin bulan madu buat kalian. Kita berdua sudah gak sabar menimang cucu. Ini ada referensi negara-negara yang bisa kalian kunjungi.

Utari menyodorkan kertas bertuliskan nama-nama negara yang cocok dijadikan tempat memadu kasih, berserta destinasinya.

Cecil membaca satu per satu. "Swiss, Barcelona, paris, Cappadocia, Amsterdam. Korea, Sydney." Cecil membekap mulutnya. "Gak kurang jauh, Ma? Jujur saja, Cecil masih belum kepikiran ke arah sana."

Devan menyahut. "Iya, Ma. Kayaknya, ini berlebihan. Devan belum ada waktu buat ke sana. Kita cari yang lokal saja. Misal ke Bali, Batam, Makassar, atau Balikpapan juga gak kalah bagus."

Utari tampak berpikir. "Cil, mau ke mana, Nak? Mau luar negri apa di Indo saja?"

Cecil menggidikkan bahunya. "Entahlah. Cecil manut saja. Terserah kalian baiknya gimana."

Ya, Cecil memang sedang tidak memikirkan soal bulan madu. Rencananya menikahi Devan, memang bukan untuk mendapat anak. Tapi, kalau keluarga Devan sudah menuntut begini, apa yang harus dia lakukan?

Semua manggut-manggut termasuk Devan.

"Oh iya, Van. Tadi si Aris bilang, kalau papanya nyuruh dia kerja di perusahaan kamu. Dia ditunjuk papanya sebagai direktur keuangan di sana."

Mata Devan melebar. Kenapa Aris tidak bilang padanya? "Gak bisa asal masuk gitu dong, Pa. Kan direktur keuangan yang lama masih ada. Kantor gak bisa asal pecat gitu dong."

Nicolas menggeleng. "Direktur yang lama tidak dipecat. Hanya dipindahkan ke kantor cabang. Papa gak bisa nolak keinginan Om kamu. Bagaimanapun, Om kamu adalah pemegang 20% saham perusahaan yang diwariskan dari kakekmu."

Devan mengusap keningnya, membuat Cecilia memandang heran. "Kamu gak papa, Mas."

Devan menggeleng sambil tersenyum samar.

Setelah memastikan suaminya baik-baik saja, kini Cecil yang angkat bicara. "Ma, Pa. Cecil mau kembali kerja. Apa boleh? Cecil bosan di rumah. Cecil ingin beraktivitas lagi seperti biasa."

Mendengar itu, Devan tampak keberatan. Devan tidak ingin Cecilia kembali bekerja, karena di sana sudah pasti ada Zaki dan Aris– dua manusia jomblo yang menaruh kagum pada istrinya. "Gak! Aku mau kamu di rumah saja. Apa uang yang  aku kasih kurang? Kalau kurang bawa semua ATM-ku. Kartu kredit, dompet aku sekalian, kamu bawa. Pokoknya kamu gak usah kerja!"

Cecil memelas. Memohon agar diberi izin. "Bukan masalah uangnya, Mas. Tapi aku bosan, di rumah gak ngapa-ngapain. Aku mau kerja kayak biasanya. Boleh ya, Ma, Pa."

"Mama sama Papa sih gak masalah. Apa kamu gak capek, Nak?" Utari memberi suaranya, menciptakan binar di mata Cecilia.

"Gak papa, Ma. Cecil sudah biasa."

Mendengar jawaban penuh semangat dari Cecil, Utari pun jadi kasihan. Dia juga ikutan membujuk Devan agar memberi izinnya. "Van, boleh ya? Kasihan Cecil kalau sampai stress di rumah. Yang ada malah jadi sakit. Kamu izinin kerja di tempat kamu. Toh, kamu sendiri yang jadi bosnya. Jadi, kamu bisa awasi Cecil juga."

Devan mendesah pasrah. Kalau Utari sendiri yang turun tangan, lelaki itu pasti tidak akan mampu menolaknya. "Baiklah, Ma. Cecil bisa kembali bekerja. Tapi berangkat dan pulang kantor harus nunggu aku. Gak boleh ngobrol sama teman cowok, terutama Zaki dan Aris!"

Pernyataan Devan membuat Cecil menganga. Sebegitunya kah? "Kamu ini kenapa sih, Mas. Kok berlebihan banget. Masak iya, kalau aku diajak ngobrol, diem aja kayak patung? Entar orang-orang ngiranya aku sakit gigi."

"Mau apa gak? Kalau gak mau, gak usah kerja." Tegas Devan membuat Cecil menghentakkan kaki.

"Ya udah. Oke, aku terima." Mau tidak mau, Cecil pun menerima kesepakatan itu. Daripada harus berdebat.

"Apa masih ada yang mau dibahas lagi? Kalau gak ada, aku mau pamit ke kamar," ucap Devan dingin, membuat Cecil merasa tak enak.

Semuanya menggeleng termasuk Cecil. Setelah tidak ada suara, Devan pun beranjak dari tempatnya menuju kamar. Bukan kamarnya, melainkan kamar Cecilia. Ya, Devan memang sengaja menunggu perempuan itu di sana. Sepertinya, hukuman kecil memang pantas dia dapatkan.

Setelah Devan pamit, Cecil juga pamit untuk ke kamar. Dia ingin segera mandi, karena hari juga sudah hampir sore. "Ma, Pa. Cecil juga pamit ya. Mau bersih-bersih dulu. Udah mau petang."

Kedua mertuanya mengangguk, kemudian ikut beranjak dari sana.

Cecil bersenandung kecil, sembari memasuki kamarnya. Dia pikir, akan terbebas dari Devan tapi nyatanya, tidak sama sekali.

Tak henti-hentinya Cecil mengucap istighfar, setelah pintu kamarnya berhasil dibuka.

Devan sudah bertengger manis di ranjang sembari memainkan game cacing di ponsel Cecil.

"Astaghfirullah! Ngagetin aja. Ngapain Mas di sini? Katanya mau ke kamar."

Devan menghentikan aktivitasnya. Menatap Cecil yang masih jantungan. "Kenapa sih? Kayak lihat setan  gitu? Ya ini kamar. Bukan teras!"

Cecil mengelus dadanya. Memang susah ngomong sama alien. "Ya kamu sentannya, Mas. Maksud aku tuh, kamar Mas Devan sendiri, bukan kamar aku."

Devan tak peduli. Melanjutkan gamenya lagi. "Kamar kamu ya kamarku, kamarku ya kamarmu. Di mana pun kamu tidur, pasti ada aku."

Cecil menarik napasnya panjang. Mendesah pasrah lalu mengalah. "Terserah kamu lah. Capek aku debat terus. Kamu memang egois, gak pernah mau ngerti. Maunya dingertiin terus."

Cecil berjalan menuju almarinya. Mengambil baju dan dalamannya, lalu mengambil handuk di atas gantungan.

"Ngapain?" Tanya Devan ketika istrinya hendak ke kamar mandi.

"Emangnya, setiap yang kulakuin, harus banget lapor ke kamu?" Jengah Cecil. Perempuan itu melempar tatapan sinis.

"Nggak juga sih, tapi kan kalau mandi bisa ajak-ajak. Nanti kubantu gosokin punggungnya."

Devan mengedipkan satu matanya, membuat Cecil menggigil takut. "Aku bisa sendiri! Makasih, Tuan Devano Nicolas."

Cecil masuk ke dalam, kemudian menutup pintu dengan sangat keras.

"Jeder!"

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang