31. Ribut Besar.

6.2K 232 2
                                    

Di dalam mobil, Cecil masih merajuk. Gadis itu memilih untuk memalingkan wajah, ketika tak sengaja tatapan keduanya beradu.

Devan melirik Cecil, menghembus napas panjang untuk meredam emosinya. Terjebak dalam perseteruan seperti ini, membuat suasana menjadi canggung. Devan merasa tak enak, bila diabaikan terus menerus.

"Aku minta maaf," ujarnya meminta maaf. Tak merespon, Cecil memilih jurus andalannya, yaitu diam seribu bahasa.

Merasa tak ditanggapi, darah Devan kembali mendidih. "Jangan kayak anak kecil dong! Tolong ngertiin aku. Aku juga punya tanggung jawab di kantor."

Cecil menatap nyolot! Dia sudah tidak tahan dengan devannya yang kasar. "Kebiasan kamu mana yang gak aku ngertiin? Sibuk kamu mana yang gak aku pahamin? Kejelekan kamu mana yang gak aku maafin? Semua udah aku korbanin, Devan. Kamu memang egois! Maunya dimengerti, tapi gak mau ngertiin balik. Pantas gak, kamu bentak aku di depan anak sekecil Cia? Kamu keterlaluan, Dev! Cia sampai ketakutan loh!"

Air mata Cecil akhirnya meluruh. Gadis itu menangis sesenggukan menahan sesak di dadanya. Ya, Devan memang egois.

Devan mengehentikan mobilnya di tepi jalan. Memeluk Cecil erat, seolah benar-benar takut kehilangan gadis itu.

Devan mengusap pelan bahu Cecil. Membiarkan gadis itu menangis di dekapannya. "Aku salah. Aku minta maaf. Kamu bisa menghukumku setelah ini. Hukum aku sesukamu."

Kata-kata Devan sama sekali tidak membuat Cecil luluh. Yang ada, gadis itu malah mengurai pelukannya. "Hukuman tidak akan membuatmu jera, Dev! Hanya kehilangan yang mungkin akan membuatmu menyesal. Aku gak sanggup! Aku pikir, kamu bisa berubah seiring berjalannya waktu, tapi nyatanya tidak sama sekali. Aku nyerah!"

Devan meraih tangan Cecil, mengecup tangan gadis itu dan memohon penuh harap. "Jangan bicara begitu. Aku akan berusaha lebih baik. Tetaplah di sampingku."

Cecil terdiam. Malas meladeni, hingga kecanggungan kembali melanda.

Devan melajukan mobilnya yang sempat terhenti, karena tidak ingin membuang waktu, dia mengendarainya dengan kecepatan tinggi.

"Pelan-pelan, Dev! Aku takut."

Cecil meraih pegangan yang berada di atasnya, menegur Devan agar memelankan sedikit lajunya. "Diam saja! Jangan banyak protes, nanti gak keburu!"

Baru beberapa menit mengatakan dirinya akan berubah, tapi kini sudah berani membentak Cecil. Dibentak seperti itu, mata Cecil memanas. Devan memang tidak bisa dipegang ucapannya.

"Turunkan aku di sini," ucapnya datar tanpa ekspresi.

Devan menoleh sekilas, lalu kembali fokus menatap jalan. Perintah Cecil sama sekali tidak digubris.

"Aku bilang BERHENTI!" Cecil menaikan suaranya satu oktaf.

"Kamu bisa diam, gak? Aku lagi nyetir!" Devan memukul setir. Mungkin niatnya hanya untuk menggertak Cecil, tapi bukannya takut, Cecil semakin menantang.

"Ya sudah, turunkan aku di sini! Kamu mau kebut-kebutan kan? Aku persilakan! Kamu mau kebut-kebutan, kamu mau tabrakan, mau mati di jalan, terserah kamu! Tapi jangan ajak-ajak aku."

Tak tahan, Devan akhirnya menghentikan mobilnya. Sesuai permintaan Cecil, Devan membuka pintu untuknya. Menyuruhnya turun dan mobil kembali melaju.

Cecil menangis dalam diam. Tak menyangka, Devan benar-benar tega meninggalkannya di jalanan. Apalagi di tempat sepi seperti ini, sama sekali tak ada kendaraan umum.

Cecil menghapus air matanya kasar. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak penuh rasa benci.

Dari kejauhan, Devan melirik spion dan melihat badan Cecil yang semakin mengecil. Tapi tak urung niatnya untuk tetap meninggalkan Cecil. Sekali-kali memberi pelajaran pada gadis itu, memang dipelukan.

***

Mobil Devan memasuki pelataran kantor. Dia memarkirkan mobilnya di tempat khusus yang sudah disediakan.

Devan turun dengan wibawa. Langkah tegapnya membawanya ke dalam ruangan Zaki.

Setelah lift berjalan melewati beberapa lantai, akhirnya Devan keluar tepat di lantai dua puluh lima. Di mana, tempat ini adalah puncak tertinggi dari gedung miliknya.

Devan membuka pintu ruangan Zaki seenaknya. Karena pria itu punya akses untuk masuk kapan pun dia mau. "Selamat siang," sapa Devan dingin. Kaca mata hitam yang dia kenakan, juga menambah karismatik aura wajahnya.

Dela bangkit, menyambut kedatangan Devan hangat, membuat Zaki merasa muak.

"Devan, apa kabar?" Hampir Dela mencium Devan seperti kebiasaannya dulu. Tapi dengan cepat, Devan mendorong tubuh Dela, membuatnya terdorong mundur.

"Jaga sikapmu, Dela."

Dari kejauhan, Zaki menahan tawanya. Dia bangkit dari kursinya, lalu berjalan menghampiri Devan. "Bagus, Dev! Aku suka pertunjukan ini."
.
Zaki bertepuk tangan, menatap Dela penuh ejekan.

Merasa dihina, Dela tak terima. Membentak Zaki lalu mencari perhatian Devan agar mau membelanya. "Diam kamu!" Dela menatap Devan sendu. Wajahnya dibuat seperti orang tersakiti. "Dev, lihat kan, Sayang. Temanmu kurang ajar."

Bukannya membela, Devan hanya menatap Dela datar. Perasaannya untuk gadis itu sudah mati, kini yang tersisa hanyalah kebencian yang tak bertepi. "Apa maumu ke mari? Jangan buang waktuku lagi. Aku sudah bukan Devan yang bodoh hanya untuk menunggu kepulangan Dela! 5 tahun aku menunggu kamu kembali, tapi nyatanya kamu gak punya hati. Tanpa rasa iba sedikit pun, kamu meninggalkanku dengan segala luka."

Dela bersimpuh di kaki Devan. Mengaku menyesal dengan apa yang dilakukannya dulu. "Aku minta maaf, Devan. Aku khilaf. Aku menyesal. Tapi sekarang aku sudah sadar, kalau aku benar-benar cinta sama kamu. Aku mau kesempatan kedua darimu. Aku janji, gak akan pergi lagi. Aku akan terus ada di sampingmu.

Devan tertawa sumbang. Tidak ada lagi alasan baginya untuk kembali bersama Dela. "Kamu kembali setelah aku sukses? Dulu, saat aku benar-benar memperjuangkan masa depan, kamu ke mana saja? Maaf Dela, kamu terlambat! Hanya harta yang kamu mau kan? Tapi sayangnya, setelah aku sukses, bukan kamu lagi seleraku."

Dela tak percaya. Hatinya teramat sakit mendapat penolakan dari Devan. "Dev, segampang itu kamu lupain aku? Kamu tega, Dev! Apa janji kita hanya angan semu? Kamu janji gak akan pernah berpaling. Tapi kenapa sekarang berubah?"

Zaki yang muak, berniat mendekat. Niatnya ingin mengusir Dela dari sana, tapi Devan menahannya.

"Biarkan, Zak," ucapnya pada Zaki.

Zaki pun mengangguk, memundurkan langkah di belakang Devan.

Devan sendiri menatap Dela dengan mata elangnya. Rahangnya gemertak menahan emosi. "Apa gak malu, kamu bicara begitu? Siapa yang tega? Siapa yang melupakan janji kita. Aku gak pernah pergi, Del. Bertahun-tahun, aku setia menunggu kepulanganmu. Tapi kamu sendiri yang pilih buat ninggalin aku. Kamu yang melepasku, Del! Jadi, jangan salahkan aku jika membuangmu jauh-jauh dari hidupku. Masih ada cinta seorang perempuan yang lebih layak aku perjuangkan. Kamu hanyalah sepenggal masa lalu."

"Kamu benar-benar tega, Devan! Kamu jahat!"

Devan mendekat, berjongkok di hadapan Dela, lalu menekan rahang gadis itu kuat. "Kamu yang jahat! Jangan datang lagi jika hanya untuk mengemis perhatianku. Pintu kantorku terbuka sangat lebar untuk menunggu kepergianmu. Keluar sekarang!"

Devan bangkit, meninggalkan Dela yang masih menangis di tempat. Sementara Zaki sendiri mengikuti langkah Devan keluar.

"Kurang ajar! Lihat saja, Devan. Cepat atau lambat, kamu pasti kembali ke pelukanku."

Istri Bayaran Untuk Bos Galak (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang