"Akhirnya ... beres juga."
Vika meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku akibat terlalu lama duduk di depan layar laptop 3 jam lamanya, pun dengan Kanaya dan Gabby yang saat itu melakukan hal sama seperti Vika.
Mereka baru saja menyelesaikan tugas kelompok untuk presentasi mata pelajaran sejarah besok. Kanaya beralih meneguk air bening yang sejak tadi tak ia sentuh sama sekali, lalu melirik arlojinya sekilas.
Udah jam 5.
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, memasukkannya ke dalam saku seragam.
"Gabby, gue ikut ke toilet ya," ucap gadis itu, beranjak dari duduk.
Sang tuan rumah hanya mengangguk.
Di dalam toilet, Kanaya langsung menelpon seseorang. Siapa lagi jika bukan Jovan, sang suami.
"Hallo, sayang. Kamu masih lama tugas kelompoknya?" ucap orang di seberang sana seketika.
"Udah selesai kok," jawab Kanaya dengan nada yang nyaris pelan.
"Ya udah, aku udah ada di basement apartemen kok."
"Iya, tunggu. Bentar lagi aku ke sana."
Kanaya segera keluar dari toilet, menghampiri kedua temannya yang sedang membereskan peralatan sekolah yang sempat di pakai.
"Kayanya gue mau langsung pulang aja deh," ucapnya.
Vika sontak menoleh, pun Gabby yang seketika menghentikan kegiatan.
"Kenapa? Ini baru jam 5. Biasanya lo pulang abis Isya," kata Gabby.
"Iya, ada apa sih? Terus lo mau pulang sama siapa kalo gak sama gue?" Imbuh Vika yang sudah mengerutkan kening.
Kanaya terdiam, lebih tepatnya ia tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan dari kedua temannya itu. Ia menggigiti bibir bawah, pandangannya yang terlihat gusar semakin menarik kerutan halus dua gadis di depannya.
"Itu—"
"Lo makin aneh, Nay." Gabby melipat tangan di depan, menelisik Kanaya dengan pandangan yang mampu membuat gadis itu semakin gelisah.
"A—aneh? Engga! Aneh gimana coba?" ucapnya mencoba untuk mengelak.
Gabby dan Vika saling tukar pandang sejenak, lalu mereka mendekatkan diri dengan Kanaya, menatap lamat sahabatnya itu. Kanaya yang sudah kelewat panik, tak bisa menahan kedua tangannya yang sudah sedikit bergetar, keringat dingin kian menjalar di area telapak tangannya.
"Kalian kenapa sih? Kok ngeliatinnya gitu amat."
"Karena akhir-akhir ini lo aneh, Kanaya."
"Aneh gimana sih?"
"Lo gendutan!" sahut Gabby. "Liat! Pipi lo udah kaya bakpao."
Kanaya menghempaskan napas berat. Hampir saja jantungnya terlepas dari asal. Ia segera meraba kedua sisi pipinya, ternyata bukan dia saja yang merasakan perubahan pada bagian itu, apakah karena dia terlalu banyak makan makanan manis belakangan ini?
"Gak gede amat juga kok."
"Iya sih, tapi gue aneh aja sama nafsu makan lo yang sekarang. Lo gak nyadar emang, hampir setiap hari lo beli bakso di kantin, padahal sebelumnya engga tuh."
Gadis itu beralih mengaitkan tas ransel lalu beranjak, praktis membuat atensi kedua temannya yang lain mendongak menatapnya.
"Lo serius mau pulang? Kenapa?" tanya Vika yang masih penasaran.
"Iya, soalnya itu .... anu ... g—gue belum izin sama Bunda gue." Alibinya.
"Oh, ya udah, gue telponin aja Bunda Nina, minta izin biar lo main dulu di sini." Gabby segera meraih ponselnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Non-Fiction"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...