"Sudah sejauh mana proyek kita di Bogor itu?" tanya Jovan pada sekretarisnya. Saat ini keduanya masih berada di ruang kerja Jovan sembari laki-laki itu tengah menandatangani beberapa berkas.
"Sudah 60%, Pak. Prediksi akan rampung tiga minggu lagi, seperti target yang sudah ditetapkan."
Jovan mengangguk, menghela napas lega. Akhirnya proyek yang sempat mengalami kendala operasional itu akan segera selesai dalam waktu dekat.
"Dimas, saya akan pulang cepat hari ini. Kebetulan saya juga harus menilai tugas kelompok mahasiswa saya. Kalau ada berkas yang perlu ditandatangani, apa kamu bisa antarkan ke rumah saya?"
"Ah, sudah tidak ada, Pak."
Syukurlah, nampaknya hari ini dewi fortuna memberi celah untuk laki-laki itu agar segera menyelesaikan permasalahannya dengan sang istri. Dia sudah tidak tahan dengan Kanaya yang terus mengomel, dan tak jarang mendiamkannya ketika waktunya ia habiskan untuk mengurus perusahaan.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan pulang sekarang." Ia beranjak dari duduk, dan memakai kembali jas hitam yang sempat dibukanya.
"Tunggu dulu, Pak. Ada yang perlu saya bicarakan sama Bapak." Dimas mencegah sang bos tatkala laki-laki itu hendak mengayunkan kaki.
Jovan menautkan kedua alis. "Ada apa?"
Dimas mengulum bibir. Sebetulnya ia sudah lama ingin mengatakan hal ini pada Jovan. Terlebih dia sering dilanda rasa cemas ketika mengingat bahwa ia pernah menjalin kerja sama dengan Anita untuk menjebak Jovan.
"Apa yang mau kamu katakan, Dimas?" ujar Jovan ketika melihat laki-laki di depannya hanya terdiam memandanginya dengan tatapan gelisah. "Apa ada masalah?"
"Jadi ... begini ...."
Jovan sudah menunggu Dimas untuk mengatakan sesuatu. Sepertinya hal yang penting? Ia semakin mengerutkan kening penasaran.
"Apa? Katakan saja?" Desak laki-laki itu.
"Anu, Pak ...."
Baik, sepertinya Dimas sudah membuatnya mengulur waktu. Jovan menghela napas panjang, melirik arlojinya sekilas. Dimas sudah lama terdiam, entah apa yang tengah laki-laki berkacamata bening itu pikirkan.
"Tidak, Pak. Lupakan saja," ucapnya kikuk. Ia pikir ini bukan saatnya untuk dia ungkapkan.
"Dimas, apa kamu sadar kalau kamu sudah membuang waktu saya?" kata Jovan, merasa jengah.
Dimas menunduk bersalah. "Maaf, Pak."
Tak ada jawaban apapun dari Jovan. Laki-laki itu kini mulai mengayunkan tungkai jenjangnya lebar, meninggalkan ruang kerjanya dengan Dimas yang masih ada di dalam mengusap wajah kasar.
•••🕊•••
Bersama satu bunga mawar merah ia kantongi, sebagai langkah awal membuat hati Kanaya melunak. Jovan memasuki rumah dengan senyum lebar hingga nampak lesung pipit miliknya yang begitu manis.
"Bi, Kanaya di mana?" ujarnya, ketika melihat Bi Susi tengah mengelap guci besar di ruang tengah.
Wanita setengah abad itu menoleh. "Oh, Non Naya ada di kamarnya, Tuan. Bu Diana baru saja pulang."
Jovan mengangguk menanggapi. "Terima kasih, Bi."
Ia kembali berjalan sedikit berlari menaiki anak tangga, sudah tak sabar bertemu dengan Kanaya.
Cklek
"Sayang ...."
Kanaya yang tengah menggambar sesuatu sembari tengkurap di atas ranjang hanya menoleh sekilas, sebelum akhirnya dia kembali melakukan kegiatan untuk mengisi waktu luangnya. Ralat, lebih tepatnya kegabutan yang ia alami.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Nonfiksi"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...