37. Kontraksi

11.5K 605 53
                                    

"Nay, sekarang aku gak bisa tinggalin kamu sendirian di rumah."

"Gapapa. Kamu berangkat aja ke kampus. Aku gapapa kok."

Di depan teras rumah, Jovan terlihat sangat enggan meninggalkan sang istri, meski berulang kali Kanaya meyakinkannya bahwa dia akan baik-baik saja. Tentu bukan tanpa alasan, dia hanya takut jika Anita melakukan suatu hal pada istrinya itu.

"Cepet berangkat, nanti telat."

Jovan menghela. "Sayang, baik-baik di rumah, ya? Kalo perempuan itu macem-macem, cepet telpon aku. Aku gak mau dia jahatin kamu."

Kanaya mengangguk cepat, mengiyakan ucapan Jovan yang kala itu menampilkan raut wajah cemas.

"Iya, jangan khawatir. Aku bakal baik-baik aja."

Laki-laki itu mencium kening Kanaya, mengusap puncak kepala sang istri sembari berusaha menampilkan senyuman terbaiknya.

"Naya ...."

Keduanya kompak menoleh, melihat tiga sahabat Kanaya yang tiba-tiba datang berkunjung membuat Jovan mengerutkan kening.

"Hallo, om!" Sapa ketiganya.

"Kalian? Kok gak bilang-bilang dulu kalo mau dateng?" ujarnya.

"Lho? Padahal Kanaya sendiri yang suruh kita main ke sini kok om," kata Gabby. Gadis itu menatap Jovan dan Kanaya bergantian. Dia pikir Kanaya sudah membicarakan hal itu pada Jovan.

"Hehe, maaf ... Aku lupa bilang," ucap Kanaya kikuk.

Jovan menghempaskan napas pelan, setidaknya dia tidak perlu merasa cemas lagi karena teman-teman Kanaya akan menemani sang istri di rumah. Dia pun yakin, Anita tidak akan berani menghadapi mereka.

"Yaudah, kalian boleh temenin Kanaya di sini, saya merasa lega kalo ada kalian di rumah ini." Jovan kembali mengusap kepala sang istri lagi. "Nay, aku pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan."

Kanaya melambai-lambaikan tangan hingga Jovan sepenuhnya hilang dari pandangan, bersama ketiga temannya yang juga memberi lambaian perpisahan pada Jovan.

"Gimana, Kal? Lo udah bawa semuanya?" tanyanya kemudian, dan diberi anggukan oleh Haekal.

"Udah, tadi kita mampir ke minimarket buat belanja ini," jawabnya sembari mengangkat dua kresek besar berisi makanan ringan.

"Nay, gue udah gak sabar buat ngerjain si nenek lampir itu. Sumpah semalem aja gue sampe geregetan. Dia emang kudu dikasih pelajaran biar kapok!" Sahut Gabby, terlihat gadis itu benar-benar sudah tidak sabar mengerjai Anita. "Syukur-syukur dia darah tinggi, terus minggat dari sini. Itu si nenek lampir emang gak punya muka banget, beraninya nginep di rumah orang pake drama hamil segala."

Kanaya terkekeh, dan menyeringai setelahnya. "Gue juga."

"Lets go!"

"Tunggu dulu!"

Belum sempat mereka memasuki pintu utama, Vika lebih dulu bersuara, membuat ketiganya mau tidak mau menoleh kembali ke belakang.

"Kalian semua, serius mau ngerjain dia?" kata Vika, sedikit ragu dengan ucapannya. Menatap satu per satu teman-temannya yang mengangguk secara bersamaan.

"Serius. Kenapa? Lo gak setuju?" Tebak Gabby. Melihat raut wajah tak yakin dari Vika, jelas membuat gadis itu menerka mungkin saja Vika tidak setuju dengan rencana Kanaya untuk menjahili Anita.

"Bukan gitu ... gue, gue kasian aja."

Haekal berdecak, merotasikan bola mata malas. "Ck, ini bukan saatnya lo ngerasa iba sama perempuan uler itu. Lo tau sendiri kan gimana perempuan itu coba hancurin rumah tangga Kanaya?"

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang