Raut wajah cemas itu tak pernah berubah sedikitpun dari paras tampan pria di sana. Ia menatap lamat Kanaya yang belum menunjukkan tanda-tanda bangun dari pingsan beberapa saat yang lalu.
Tangannya terus menggenggam erat jemari mungil yang terasa hangat. Sekali lagi, Jovan menyalahkan dirinya sendiri, ia merasa gagal untuk menjaga sang istri.
"Maaf, Kanaya ...."
Pria itu mengulurkan tangannya ke atas kepala Kanaya, mengusap puncak kepala Kanaya penuh sayang. Ia menghela, berharap sang istri bisa tersadar.
Bak sebuah harapan dan doa-doa yang terkabul dengan sangat cepat, pelan-pelan Kanaya mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ia mengerjapkan bola matanya lengkap dengan kerutan di dahi tercetak jelas menandakan ada kesakitan yang ia rasa dalam kepalanya.
Jovan yang melihat hal tersebut melebarkan iris mata, perasaan lega tak mampu ia bendung tergambar dari mimik wajah pria itu.
"Kanaya! Syukurlah, kamu sadar juga. Ada yang sakit? Apa yang sakit? Dimana?" Sahutnya panik.
Kanaya yang masih mencerna apa yang sudah terjadi hanya mampu menggeleng, meski sesekali ia meringis memegangi kepalanya yang terasa pening.
"Kenapa Bapak di sini?"
"Tadi kamu pingsan di kelas, jadi aku bawa kamu ke sini. Tapi kalau kamu ada yang sakit, ayo kita pergi ke rumah sakit, ya?" Ajaknya, masih dipenuhi rasa khawatir dengan kondisi sang istri.
Lagi-lagi Kanaya menggelengkan kepala lemah, dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Jovan.
"Makasih, Pak, sudah bantu saya."
Sejujurnya, jauh dalam lubuk hati Jovan, dia merasa kecewa dengan kalimat yang diucapkan Kanaya. Bukan tanpa alasan, entah kenapa dari kalimat itu seolah status diantara keduanya diberi jarak. Dia tidak suka itu.
"Kita ke rumah sakit aja, ya? Buat periksa keadaan kamu." Jovan masih berusaha membujuk Kanaya.
"Enggak, Pak. Saya baik-baik aja kok." Setelah mengatakan hal itu, Kanaya segera beranjak dari brankar, berniat untuk pergi dari ruang kesehatan.
Jovan tak tinggal diam, dia tahu Kanaya sedang tidak baik-baik saja, pria itu menarik tangan Kanaya untuk tetap berada di atas brankar. Ia mencegah Kanaya yang hendak turun dari brankar. "Kamu masih sakit. Kalau kamu ada kelas, izin aja dulu."
"Saya gak bisa izin, Pak. Lagian saya baik-baik aja."
"Kalau gitu aku yang bakal bilang. Setelah ini kamu ada kelas Pak Rahman, 'kan?"
"Saya mau masuk kelas, Pak. Lepasin tangan saya." Gadis keras kepala itu masih berusaha melepaskan genggaman tangan Jovan yang seolah mengunci dirinya.
"Kanaya denger!"
Sampai pria itu menarik kedua bahu Kanaya untuk menghadap dirinya. Saat itu pula, Kanaya hanya mampu mendongak menatap Jovan.
"Aku gak mau kamu sakit, aku gak mau gagal lagi buat jaga kamu," ujarnya cemas.
Anggaplah pria itu terlalu berlebihan, tapi memang itu adanya. Hati kecilnyatidak ingin wanita yang sangat ia cintai terluka.
"Pak ...."
"Jangan bicara formal, aku gak suka."
Mendengar itu, Kanaya mengerjapkan matanya berulang kali, dan entah kenapa dia hanya mampu terdiam serta kedua matanya yang masih beradu tatap dengan Jovan.
"KANAYA! NAYA!"
Keduanya menoleh kompak ke arah pintu yang tiba-tiba dibuka dan menampakkan Gabby berlari masuk menghampiri Kanaya tanpa mencerna terlebih dahulu apa yang tengah terjadi di ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
No Ficción"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...