Di depan ruangan yang berjajar, Kanaya masih berjalan berdampingan dengan sang sahabat, sekarang keringat dingin semakin menjalar di sekujur tubuhnya.
"Ruangan yang di pojok itu, Nay," ucap Gabby pelan, menunjuk salah satu ruangan paling ujung. Menyadari perasaan tegang yang mengikat Kanaya, ia menepuk bahu itu berulang kali. "Semangat Kanaya."
"Aduh, Gab ... dia mau ngapain ya manggil gue? Masa cuma gara-gara masalah tadi pagi gue sampe dipanggil ke ruangannya sih," ucap Kanaya. Masih menampilkan raut wajah cemas, takut, malu, semua rasa itu seolah bercampur menjadi satu.
"Gue juga gak tau, Kanaya. Lo temuin dulu deh."
"Tapi gue takut, Gabby ... gue takut," kata gadis itu, mengeratkan genggaman tangannya di lengan sang sahabat.
"Gak apa-apa. Lo tenang aja, santai, tarik napas, keluarkan."
"Gimana gue bisa santai, orang di dalem Jovan, dia bukan orang asing buat gue, Gabby."
"Ya udah kalo dia bukan orang asing buat lo, harusnya lo gak perlu takut gini, 'kan?" ucapnya, sembari menarik tangan Kanaya untuk segera mendekati ruangan di ujung lorong itu.
"M--maksud gue bukan gitu, maksud gue--"
"Ssttt ... yang perlu lo lakuin cuma masuk, dengerin dia, kalo lo merasa bersalah, lo minta maaf, udah deh, kelar masalahnya."
Kanaya menggigit bibir bawah, menatap pintu di depan dengan banyak pikiran liar. Apa yang akan terjadi setelah dia melangkah masuk ke ruangan milik Jovan? Apa yang akan dia lakukan padanya? Sungguh, dia tidak bisa berpikir jernih saat ini.
"Udah ... ketuk dulu pintunya." Perintah Gabby.
Berpikir sejenak, dia juga tidak ingin kesulitan mendapat nilai, atau bisa saja Jovan memberinya nilai rendah. Kanaya mulai menarik napas dalam, menghempaskannya bulat-bulat, lalu mengangkat tangan dan mengutuk pintu di depannya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!"
Terdengar suara dari dalam, sudah dipastikan itu adalah Jovan, dia tahu itu. Bukan semakin membaik, jantungnya kian berdetak sangat cepat ketika membuka knop pintu.
"Kanaya, semangat, gue tunggu lo di sini." Ucap Gabby sedikit berbisik dari arah belakang.
Gadis itu mulai menggerakkan kakinya memasuki ruangan. Detik itu pun aroma bunga sitrus mulai tercium mengelus rongga hidung Kanaya, hingga atensinya tertuju pada sosok pria yang tengah terduduk di singgasana miliknya, sembari tangannya menulis sesuatu di atas beberapa kertas yang gadis itu sendiri pun tidak tahu.
"Ada apa?" ucapnya, dengan pandangan yang masih terfokus pada lembaran kertas di depannya.
"Hm, a--anu--"
"Sialan! Gue harus manggil apaan?! Bapak?" Batin gadis itu
"Kenapa? Ada tujuan apa kamu datang menemui saya?" kata pria itu lagi.
"Itu, t--tadi Gabby bilang B--bapak panggil saya," ucap Kanaya kaku.
Terlihat pria itu menyunggingkan sebelah bibir, dia menghentikan kegiatannya, lalu mengangkat kepala menatap gadis yang berdiri di depan.
"Duduk."
Kanaya segera mendaratkan bokongnya di kursi tepat di depan sang dosen. Dia masih belum berani menatap lurus ke depan, dan lagi-lagi Kanaya hanya bisa tertunduk sembari memainkan jemari yang bergetar.
"Kamu tau kesalahan kamu apa?" ujar Jovan, dia melipat tangan di atas meja, masih memperhatikan Kanaya yang tertunduk, tidak berani untuk sekedar menatapnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
غير روائي"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...