12. Kanaya is my wife

30.9K 1.4K 83
                                        

Jovan masih duduk terdiam di ujung kantin kampus, nasi tutug oncom yang sedari tadi menjadi teman makan siangnya tak ia hiraukan sampai menu itu terasa dingin. Sejujurnya, isi perut laki-laki itu semakin memberontak akibat terlambat diberi asupan sarapan tadi pagi. Setelah mengantar Kanaya ke sekolah, Jovan memilih membeli roti isi di pinggir jalan yang tentu saja tak mampu menahan amunisi lebih lama dibanding dengan sarapan nasi.

Tak perlu banyak waktu menebak suasana hati laki-laki itu. Tentu saja ia tengah khawatir setengah mati akan kesehatan sang istri. Apalagi tatkala ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Kanaya yang muntah-muntah tadi pagi.

Pandangan Jovan tak henti-hentinya menatap layar ponsel yang menampilkan deretan pesan yang ia kirim, meski nyatanya Kanaya nampak tidak mengaktifkan jaringan seluler. Walaupun ia berusaha untuk berpikiran positif, namun hal itu justru semakin membuatnya dilanda cemas yang tak ada ujungnya.

"Naya ... Kamu gapapa kan sayang?" Monolognya, menggigiti kuku jari gelisah.

Jemarinya kembali mengetikkan pesan untuk Kanaya, dengan harapan besar sang istri kecilnya itu membalas pesan yang akan membuat perasaannya lega.

"Permisi, Pak?"

Laki-laki itu terlihat sangat serius dengan benda pipih yang ada digenggamannya, sampai ia tak menyadari bahwa kini seorang mahasiswi tengah berdiri di depannya.

"Pak? Pak Jovan?"

Masih belum tersadar, gadis itu beralih mendekati Jovan, menepuk pundak laki-laki yang berstatus dosennya di kampus.

"Pak?"

Jovan terkesiap akibat tepukan sebuah tangan di pundaknya yang secara tak langsung mengembalikan fokusnya kembali.

"Eh, Tania? Maaf ... ada apa?"

Perempuan bernama Tania itu mengulum bibir.

"Mmm ... saya boleh duduk di sini gak, Pak?"

Laki-laki itu mengerjapkan bola mata, sebelum ia mengganggukkan kepala kaku. Tak ada salahnya juga kan? Siapa tau gadis itu ingin menanyakan sesuatu padanya.

"Ya, silahkan."

Tania segera mendaratkan bokongnya di bangku tepat di samping Jovan. Detik selanjutnya, Jovan terlihat terkejut karena gadis itu semakin merapatkan diri dengannya, ia memilih bergeser, bermaksud memberi jarak di antara keduanya.

"Pak, saya boleh nanya sesuatu gak?" tanyanya.

"Boleh. Mau tanya apa?" ucap laki-laki itu, dengan nada suara yang waspada, ia kembali menggeser bokongnya tatkala Tania semakin mengikis jarak.

Tak hanya itu, tangan gadis di sana kini menggapai lengan Jovan, sedikit memberi pelukan di lengan kekar laki-laki yang kala itu mengenakan kemeja dengan lengan digulung sampai siku.

"Saya cuma mau tanya—"

"T—tania, kamu bisa duduk di depan saja tidak. Saya gak enak kalo kamu duduk di samping saya," ujarnya sembari melepaskan tangan Tania yang semakin bergelayut di lengannya.

"Tapi, Pak—"

"Tania ... tolong jaga sikap kamu."

Gadis itu lantas merotasikan bola mata, lalu beranjak dari duduk untuk pindah ke bangku tepat di depan Jovan. Setidaknya laki-laki itu sedikit lega karena gadis yang selalu berusaha mendekatinya tak bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan lagi.

"Jadi kamu mau tanya apa?"

"Bapak udah tau soal pesta ulang tahun Julia minggu depan? Katanya semua Mahasiswa sama Dosen diundang ke acara itu."

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang