Kring
Suara alarm yang berasal dari sebuah benda pipih sontak membangunkan Jovan dari tidur panjangnya. Ia mengerjapkan bola matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Tangannya kemudian bergerak, menggapai ponsel yang tergeletak di atas nakas.
Ia memijat kepalanya yang sedikit pening, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang tampak asing baginya. Dengan pikiran yang terus bertanya-tanya di mana keberadaannya, tiba-tiba sebuah panggilan masuk mengalihkan atensi laki-laki itu.
Dia melihat Dimas yang melakukan panggilan tersebut.
"Hallo."
"Bapak sudah bangun? Maaf, Pak, mungkin Bapak bertanya-tanya kenapa Bapak ada di apartement saya. Tapi kemarin saya benar-benar harus segera ke rumah sakit, karena Ibu saya akan melakukan operasi. Saya buru-buru, maka dari itu saya bawa Bapak ke apartement saya yang kebetulan cukup dekat dengan rumah sakit. Saya juga tidak tega membangunkan Bapak."
Jovan menghela, merapatkan matanya beberapa saat lalu mengangguk memaklumi. Ya, dia sebenarnya sudah tahu kalau Ibu dari sekretarisnya itu harus melakukan operasi kemarin.
"Tidak apa. Terima kasih. Lalu bagaimana operasinya kemarin."
"Alhamdulillah, lancar, Pak."
"Syukurlah. Kemungkinan saya juga akan jenguk setelah rapat. Oh, jam berapa rapatnya dimulai?"
"Jam 10, Pak. Saya akan segera siapkan semuanya."
"Baik. Terima kasih."
Jovan memutuskan panggilan sepihak, lalu ia melihat riwayat puluhan panggilan tak terjawab dari Kanaya, jantungnya sontak berpacu kencang, ia pun membuka pesan masuk dari sang istri yang ternyata sangat banyak.
"Astaga ... Kanaya pasti khawatir."
Laki-laki itu segera beranjak dari tempat tidur, mengambil semua barang-barang miliknya. Dia tidak ingin Kanaya menunggunya lebih lama lagi.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya ia memikirkan Kanaya dan berusaha menghubungi istrinya itu meski nyatanya Kanaya sama sekali tidak mengangkat telpon darinya. Saat setelah ia sampai di halaman rumah, ia bergegas berlari masuk mencari Kanaya.
"KANAYA! KANAYA!"
"Naya?!"
Baru saja laki-laki menginjakkan kaki di ruang tengah, ia langsung menangkap sosok Bi Susi yang sedang mengganti kain putih yang tadinya menutupi kening Kanaya.
Ia beringsut lebih mendekat. "Kanaya kenapa, Bi?"
"Anu Tuan ... tadi malam Non Naya pergi keluar untuk mencari Tuan, tapi setelah pulang Non Naya basah kuyup karena kehujanan. Semalam juga Non Naya demam, Tuan, dia gak mau ganti baju dan lebih milih untuk tidur di sini nunggu Tuan pulang. Tapi syukurlah sekarang demamnya sudah reda," ucap Bi Susi menjelaskan apa yang sudah terjadi selama Jovan tak kunjung pulang.
Perasaan bersalah seketika menggerayangi batin laki-laki itu. Melihat Kanaya yang masih mengenakan baju dress semakin membuatnya merasa sesak. Gadis itu pasti mengharapkannya dan khawatir setengah mati. Namun, demi Tuhan dia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi semalam. Dia hanya ingat saat dirinya tertidur selama perjalanan pulang, dan ketika ia membuka mata semuanya sudah berubah.
"Kalau begitu Bibi pamit ke belakang lagi, Tuan."
Jovan hanya mengangguk mengiyakan. Ia beralih duduk di pinggiran sofa, memandangi wajah pucat pasi sang istri dengan pikiran yang berkecamuk. Oh, dia sudah mengingkari janjinya kali ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Sachbücher"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...