4 bulan kemudian
Rapat yang sudah berjalan satu jam itu nampak seperti biasa. Ya, seperti biasa, di mana Jovan hanya akan menatap layar proyektor dengan tatapan kosong. Akhir-akhir ini semua orang yang terlibat dalam rapat memiliki pemikiran yang sama akan perubahan sikap atasan mereka.
Dimas, salah satu orang sekaligus sekretaris laki-laki itu tidak mungkin tutup mata dan telinga mengenai masalah yang sampai detik ini membelenggu kehidupan sang bos.
"Untuk saat ini, kami akan melakukan pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah daerah setempat mengenai rencana kerja, karena proyek ini bertepatan dengan pemukiman penduduk diharapkan ketika proyek mulai berjalan, kita bisa meminimalisir adanya kendala yang diperkirakan akan timbul, dan rencana penanganannya."
Disaat pihak Direksi Pekerjaan, Direksi Teknis, dan penyedia jasa, wakil masyarakat setempat dan instansi tengah menyamakan presepsi seluruh dokumen kontrak dan membuat kesepakatan hal-hal penting tentang pasal-pasal yang tertuang dalam dokumen kontrak atau usulan-usulan perubahan maupun kemungkinan-kemungkinan kendala yang akan terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan, Jovan tidak bereaksi apapun.
Dimas yang duduk di dekat Jovan berusaha menyadarkan lamunan laki-laki itu, tatkala para pihak di sana diam-diam saling pandang dan berbisik.
"Pak ... Pak Jovan." Cicitnya.
Jovan menoleh pelan, suara helaan napas terdengar ketika atensinya mengamati keadaan ruang rapat yang nampak hening, apalagi saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian.
"Saya kira rapat cukup sampai di sini. Karena konsultan supervisi belum tersedia di lapangan, rapat koordinasi kita laksanakan pada tahap selanjutnya. Terima kasih, selamat siang."
Setelah itu Jovan beranjak dari duduk, kemudian berjalan cepat meninggalkan ruang rapat, Dimas segera menyusul Jovan, hingga semua yang ada di ruangan mau tidak mau, satu per satu mulai angkat kaki dengan perasaan tidak puas dengan hasil rapat hari itu.
Saat berada di ruang kerja, ia segera duduk di sofa, mengambil segelas air dan meneguknya hingga kandas. Lagi-lagi Jovan hanya menampilkan mimik wajah penuh beban, sang sekretaris tahu itu.
"Kamu atur lagi jadwal rapat selanjutnya. Sekarang saya ada kelas," ujarnya, melirik arloji dan beranjak.
"Baik, Pak."
Dimas diam sejenak, ia mengulum bibir. Dia salah satu orang yang sangat menyesal sampai detik itu, apalagi jika bukan karena ia selalu bungkam dengan semua yang Anita lakukan hingga menimbulkan masalah yang cukup besar.
"Kenapa? Kenapa kamu diam saja?" tanya Jovan, menyadari gestur tubuh gelisah dari sang sekretaris.
"Saya tidak tau harus berkata apa lagi. Saya benar-benar meminta maaf atas semua yang terjadi. Saya tidak tahu Anita akan bertindak sejauh itu. Seharusnya saya tidak diam saja dan mengatakan yang sebenarnya kepada Bapak."
"Ya, memang seharusnya kamu jujur sama saya sejak awal. Tapi saya tau, kamu juga merasa ditekan dan lebih memilih untuk tutup mulut. Saya kecewa. Kamu tau? Saya berniat memecat kamu saat mengetahui hal itu." Ungkap laki-laki itu.
Mendengar ucapan Jovan, Dimas hanya mampu menundukkan kepala dalam. Meski berulang kali dia meminta maaf dan Jovan memaafkan, nyatanya rasa penyesalan itu akan tetap bersarang sebelum masalah sang bos selesai, dan entah sampai kapan.
"Sekarang bagaimana keadaan Anita?" tanya Jovan kemudian.
Dimas mengangkat kepala. "Minggu lalu saya membawa Anita ke rumah sakit. Dia perlu mendapat perawatan sampai saat ini. Kondisi kandungannya semakin lemah, tapi dia bersikeras mempertahankan bayi yang dikandungnya," ujarnya, lengkap dengan tatapan sendu.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Non-Fiction"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...