29. Miss my son

15K 838 64
                                        

1 bulan kemudian...

Kelas sudah berakhir beberapa menit yang lalu, laki-laki itu kini bergegas melangkahkan kaki melewati koridor kampus hendak menuju parkiran, dia harus cepat pulang.

"Pak Jovan! Pak, tunggu!"

Dari arah belakang, terlihat seorang mahasiswi yang tengah mengejar sang dosen dengan napas yang sudah begitu memburu. Tak henti-hentinya pula ia berteriak memanggil laki-laki yang jaraknya cukup jauh di depan.

"Pak Jovan!"

Jovan menoleh cepat, tatkala melihat Tania yang ternyata berlari ke arahnya laki-laki itu mengerutkan kening.

"Ada apa, Tania?" tanyanya kemudian.

Gadis itu masih mengatur napasnya yang berhembus sangat cepat.

"Anu ... itu, Pak ...."

"Itu apa? Cepat katakan, saya sedang buru-buru."

"Ini soal anak-anak, Pak," ucapnya.

"Anak-anak? Bukannya sudah saya jelaskan mengenai tugas apa saja untuk semester sekarang? Kamu juga sudah membagi kelompok untuk kegiatan volunteer nanti, 'kan?"

Tania, gadis itu menggelengkan kepalanya cepat. "B—bukan, bukan tentang itu, Pak"

Melihat Jovan yang semakin mengerutkan kening, ia kembali berucap, "Tapi ini tentang Bapak."

"Saya? Memangnya saya kenapa?"

Sejenak, Tania hanya mampu memandangi wajah laki-laki di depannya dengan banyak pikiran dalam isi kepalanya. Dia takut, dia tidak tahu harus berbicara bagaimana dan seperti apa untuk mengungkapkan keluh kesah mahasiswa lain akan sikap yang berubah pada dosen mereka.

"Tania, kamu mau bicara atau mau membuang waktu saya?"

"Begini, Pak. Tapi akhir-akhir ini, anak-anak yang lain, mereka mengeluh karena sepertinya Bapak tidak fokus lagi mengajar. Mereka juga segan untuk sekedar bertanya, Pak," kata gadis itu, menjeda ucapannya. "Bukannya saya tidak memahami kondisi Bapak, tapi ...."

Jovan mengangguk paham, dia juga merasa semua masalah yang ia hadapi saat ini nyatanya berdampak pada tugasnya sebagai dosen. Dia merasa, semua pekerjaan yang ia lakukan tak pernah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam pikiran laki-laki itu selalu dipenuhi bayangan sang istri yang bahkan sampai detik itu pun masih dirundung duka.

"Maaf kalau akhir-akhir ini saya kurang baik dalam mengajar. Saya tahu kalian tidak nyaman, saya akan mencoba mengesampingkan masalah pribadi saya dengan pekerjaan," ujarnya menyesal.

Gadis itu lantas tersenyum tipis, ia segera meraih telapak tangan Jovan meski akhirnya laki-laki itu menghempaskannya.

"Ah, maaf, Pak. Tapi kalo Bapak mau curhat, saya mau dengar kok. Setidaknya kalo Bapak ungkapkan isi hati Bapak, siapa tau itu bakal sedikit mengurangi beban Bapak," kata gadis itu.

"Maaf Tania, tapi saya tidak mau menceritakan masalah pribadi saya pada orang lain, apalagi itu menyangkut rumah tangga saya."

Beberapa saat Tania hanya mampu terdiam. Ada perasaan kecewa ketika laki-laki itu lagi dan lagi menolak niat baiknya, tapi dia juga mengerti kenapa Jovan bersikap seperti saat ini. Menerima kenyataan bahwa ia tak mampu lagi memaksakan keinginannya untuk memiliki Jovan, nyatanya tak semudah ia menaruh hati pada laki-laki itu.

"Tapi saya bukan orang lain, Pak." Cicitnya.

"Tetap saja. Saya tau niat kamu baik, Tania. Tapi, terima kasih karena kamu sudah peduli dengan saya."

Suara helaan napas kembali terdengar dari mulut laki-laki itu. Ia memberikan seulas senyum untuk gadis di depannya, lalu berkata, "Kalau tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, saya mau langsung pulang saja, sepertinya istri saya sudah menunggu di rumah. Oh ya, satu lagi, kalau kamu atau anak-anak yang lain mau bertanya mengenai tugas, jangan sungkan buat kirim pesan sama saya."

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang