38. Test DNA

13.5K 608 70
                                    

"Jadi bagaimana, dok?"

Sang dokter yang baru saja mendudukkan diri di kursi menjawab, "Syukurlah tidak apa-apa. Hal ini biasa terjadi pada ibu hamil. Saya sarankan jangan terlalu kecapean, apalagi sampai stress, pola makannya juga harus dijaga."

Kanaya yang mendengarnya menghela napas pendek. Dia sudah menduga dokter itu akan mengatakan hal yang tak asing terdengar di telinganya, tentu dengan pengalaman masa lalu yang membuatnya mengerti dan paham bagaimana kondisi dan situasi saat ini.

Anita yang baru saja kembali dari brankar tertutup turai seketika memberikan tatapan datar ke arah Kanaya yang kala itu menoleh padanya. Wanita itu lantas sama-sama ikut duduk di depan dokter.

"Saya akan resepkan beberapa vitamin untuk dikonsumsi, ya."

Dengan senyum miring, Anita bersuara, "Kamu denger, Van? Aku gak boleh kecapean, dan aku gak mau beres-beres rumah lagi. Biar Kanaya aja yang beres-beres, lagian dia gak pernah punya kerjaan di rumah."

Mendengar hal itu, Kanaya menoleh cepat. "Dih, asal lo tau, itu rumah gue. Harusnya lo yang lebih tau diri."

Anita mendelik tak suka, dia langsung melipat tangan kesal.

"Tapi ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, ini mengenai kondisi kehamilan ibu Anita. Saya harus membicarakan ini dengan suami bu Anita, apa pak Jovan suaminya?" tanya sang dokter. Terlihat raut wajah serius, nampaknya memang benar ada hal yang perlu ia sampaikan.

Jovan menggelengkan kepalanya. "Bukan. Saya bukan suami wanita itu. Kenapa? Ada apa, dok? Apa semuanya baik-baik saja? Kalau ada sesuatu, dokter bisa bicara dengan saya."

Dokter itu memainkan jemarinya gelisah, melirik orang-orang di depan gusar. "Hmm ... begini, sebenarnya bu Anita ...."

Kanaya maupun Jovan sangat serius mendengarkan ucapan sang dokter yang terlihat ragu. Di sisi lain, Anita seketika menampilkan wajah cemasnya, dia tahu apa yang akan dikatakan dokter itu. Berkali-kali dia menggelengkan kepala pelan seolah memberi isyarat agar sang dokter tak memberi tahu Jovan tentang kehamilannya.

Dokter itu lantas memberikan lipatan kertas, yang diketahui adalah hasil pemeriksaan Anita, dia seolah tak peduli dengan tatapan memohon dari Anita.

"Sebenarnya bu Anita—"

"Bukan apa-apa!"

Anita segera merampas kertas itu yang baru saja hendak dibuka oleh Jovan. Jelas saja hal itu membuat Kanaya maupun Jovan terkejut dengan tindakan Anita.

"Anita, berikan kertas itu." Jovan mencoba mengambil kembali kertas yang dipegang erat Anita.

"Enggak, i—ini gak penting. Iya kan, dok?"

Merasa pertanyaan itu ditujukan padanya, dokter itu hanya mampu terdiam. Jovan menghela napas panjang, ia lantas berdiri dari duduknya. Sungguh, laki-laki itu sudah sangat ingin segera mengakhiri permainan Anita.

"Baik. Kalau kamu tidak memberikan kertas itu, saya tidak punya pilihan lain."

Anita mengerutkan kening bingung. "Maksud kamu?"

Jovan mengalihkan pandangan ke arah dokter di depannya. "Apa kita bisa melakukan tes DNA janin itu, dokter?"

"Jovan! Kamu ini apa-apaan?!" Sahut Anita, ia bahkan tak mampu menutupi keterkejutan dari mimik wajahnya.

"Saya tidak butuh komentar dari kamu," ujar Jovan, menatap tajam Anita. "Bagaimana, dokter? Saya ingin tahu siapa sebenarnya ayah janin itu. Saya tidak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut."

Anita mengatupkan rahang keras, sekaligus mengepalkan tangan kuat-kuat. Kanaya yang sejak dari terdiam mulai mengangkat kedua sudut bibirnya, ia tersenyum tipis.

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang