"Mau ikut ...."
"Gak boleh, sayang. Aku mau kerja, bukan main."
"Ih, pokoknya aku mau ikut kamu ke kampus."
Pagi hari yang sebelumnya selalu hening nan tenteram, namun kali ini rumah besar itu dihiasi suara rengekan Kanaya yang memaksa Jovan untuk membawanya ke kampus. Sudah satu jam lamanya gadis itu tak lelah merengek, mengikuti ke manapun Jovan melangkah, menarik-narik baju kemeja sang suami, apapun dia lakukan asalkan ia mendapat persetujuan dari Jovan.
"Aku janji gak bakal nakal di sana. Ya, ya, ikut ...."
"Naya, jangan, ya?"
Kanaya mencebik. "Please ... kan bu Diana gak bakal dateng. Jadi dia kasih aku tugas aja. Aku gak mau di rumah sendirian."
"Tuh kan ada tugas. Mending kamu kerjain tugasnya, nanti bu Diana marah loh."
"Tugas kan bisa dikerjain nanti. Kalo ada hari besok, kenapa harus sekarang," ucap gadis itu enteng.
Tapi tetap saja, laki-laki itu tak mengindahkan ucapan Kanaya. Dia menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa dia tidak setuju dengan pendapat Kanaya.
"Kamu lupa besok hari Minggu? Katanya kamu mau pergi ke kebun binatang. Lebih baik kamu kerjain tugasnya sekarang. Biar besok gak repot," kata Jovan menasehati, mengusak rambut Kanaya.
Kanaya tetaplah Kanaya, gadis keras kepala itu sudah dipastikan akan bersikukuh dengan keinginannya, tak mampu menyerap nasehat dari orang-orang.
"Pokoknya mau ikut! Huaa! Kamu jahat!" Teriak gadis itu menangis, ralat, lebih tepatnya berpura-pura menangis seraya menghentak-hentakkan kaki di lantai.
Jovan panik, ia mencoba menenangkan Kanaya agar berhenti meraung. "S—sayang, jangan nangis dong."
"Huaa! Abisnya kamu jahat gak mau ajak aku!"
"I—iya udah, kamu boleh ikut." Finalnya.
Sontak gadis itu berhenti dari akting menangisnya, ia melebarkan senyum seolah tak terjadi apa-apa.
"Beneran?! Ayo kita berangkat sekarang!" Ia menarik lengan sang suami untuk segera pergi ke kampus di mana Jovan mengajar. Mau bagaimana lagi? Dia hanya bisa pasrah. Laki-laki itu pun harus susah payah menyesuaikan langkah kaki Kanaya yang sedikit berlari keluar rumah.
Sebenarnya Jovan memiliki jadwal untuk masuk kelas pukul sembilan pagi, tapi karena sejak tadi Kanaya yang ngotot untuk berangkat sangat awal, alhasil keduanya pergi pukul delapan.
Di sini mereka sekarang, di parkiran kampus, Jovan masih terdiam, lebih tepatnya dia tidak tahu apakah dia harus membawa Kanaya ke sebuah gedung yang menjadi tempatnya mengajar? Pasalnya Kanaya adalah tipe manusia yang mudah bosan dan anti menunggu.
"Naya, kamu serius mau ikut?"
Gadis itu mengangguk mantap. "Serius. Emang kenapa? Gak boleh, ya? Atau kamu punya gebetan di kampus, makanya aku gak boleh ikut?"
Tentu saja Jovan menyangkal ucapan Kanaya. "Enggak, jangan aneh-aneh. Mana mungkin aku punya gebetan."
"Kalo gitu, selingkuhan?"
"Astaga, Kanaya ... kok pikiran kamu jelek banget sih, sayang?"
Kanaya terkekeh beberapa saat, lalu berkata, "Ya abisnya, orang aku cuma pengen liat-liat doang masa gak boleh. Aku juga gak bakal ganggu kamu kok."
"Tapi kamu serius mau nungguin?"
Sekali lagi gadis itu mengganggukkan kepalanya. "Iya! Kalo aku bosen ya tinggal jalan-jalan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Sachbücher"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...