40. Maaf

10.7K 573 38
                                    

Jovan segera berlari cepat setelah memarkirkan mobilnya, menyusuri pekarangan rumah sang mertua ia merasa sudah tidak sabar untuk menemui Kanaya.

Langkahnya terhenti saat iris matanya melihat Hendery tengah terduduk di kursi teras rumah dengan secangkir kopi yang menemani pria berumur setengah abad itu.

"Ayah, Kanaya--"

"Ada perlu apa kamu datang kemari?" ujar Hendery, nada dingin serta mimik wajah datar tak luput menjadi tanda tanya bagi laki-laki itu.

"Ayah, saya tau semalam Kanaya pergi ke sini. Sekarang saya mau jemput dia pulang."

Hendery masih menatap tajam laki-laki yang saat itu masih berstatus menantunya, sebelum akhirnya ia beranjak dari duduk, berdiri tegak tepat di depan Jovan.

"Pulang ke mana maksud kamu, hah? Di sini tempat tinggal Kanaya, dia harus pulang ke mana sedangkan ini rumahnya?"

Jovan semakin bingung dengan ucapan Hendery. "Ayah--"

"Apa sekarang kamu sudah bahagia, hm? Sekarang kamu bisa memiliki anak lagi, Jovan. Hidup kamu sudah lengkap, memiliki wanita yang bisa kasih kamu keturunan. Tidak seperti anak saya, Kanaya."

"A--apa maksud Ayah?" tanya laki-laki itu bingung, ia mengerutkan kening mendengar ucapan Hendery.

Ia menyunggingkan sebelah bibir, melipat tangan di depan dengan angkuh. "Jangan pura-pura menjadi orang bodoh, Jovan. Saya sudah tau semuanya. Anak yang dikandung Anita adalah benar anak kamu. Kenapa? Kenapa kamu sakiti anak saya? Kenapa kamu ingkar janji? Kamu janji untuk setia pada Kanaya apapun keadaan anak saya."

Pria itu beralih mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Jovan. "Jangan hanya karena Kanaya sulit hamil, kamu dengan seenaknya mencari wanita lain!"

"Ayah, itu semua tidak benar! Anak itu bukan anak saya, ini salah paham!" ujarnya meyakinkan.

"Lalu anak siapa? Hanya wanita tidak waras yang meminta tanggung jawab pada laki-laki yang bukan Ayah dari anak dalam kandungannya."

Jovan menggelengkan kepala, mengisyaratkan bahwa apa yang diucapkan Hendery adalah tidak benar. "Tidak, Ayah ... tidak seperti itu, s‐-saya bisa jelaskan semuanya."

"Mau jelaskan apa lagi? Kanaya sendiri yang bilang kalau kamu mengakui bahwa janin itu anakmu!" Sahut Hendery dengan napas yang menggebu.

Dia sudah menduganya, Kanaya mendengar semua yang ia ucapkan tadi malam, dan istrinya itu salah mengartikan semuanya.

"Ini semua salah, Ayah. Saya bisa jelaskan apa yang sebenarnya."

"Saya lebih percaya ucapan anak saya daripada mulut kamu itu, Jovan." Tegasnya.

"Baik, kalau Ayah tidak percaya dengan ucapan saya, tidak masalah. Tapi sekarang saya harus bertemu dengan Kanaya."

Dengan cekatan Hendery segera menahan Jovan yang hendak melangkah memasuki rumah, lengkap dengan tatapan tajam pria itu mendorong sang menantu seolah tak ingin Jovan memasuki kediamannya.

"Ayah, saya harus bertemu istri saya!"

Hendery mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan Jovan, dengan lantang ia berkata, "DENGAN SEMUA YANG SUDAH TERJADI, KAMU MASIH MENGANGGAP KANAYA ISTRIMU?!"

Jovan diam membeku, pandangannya penuh kebingungan dengan ucapan Hendery.

"Kamu tidak pernah membuat anak saya bahagia, kamu selalu membuat Kanaya kecewa, sakit dan menderita! Saya benar-benar menyesal mempercayai kamu selama ini! Bahkan kamu mengingkari janji kamu, Jovan!"

"Apa m-maksud Ayah? Saya tidak pernah mengingkari janji saya," ucapnya bersikukuh, ia merasa tidak pernah mengingkari janji apapun.

"Jangan berpura-pura! Akui saja bahwa anak wanita itu adalah anak kamu! Saya sudah tau semuanya! Jadi sekarang saya minta, jangan pernah kamu temui anak saya lagi, tinggalkan dia!" Sahut Hendery, air wajah yang mendadak memerah, menandakan ada aliran amarah yang membendung dirinya.

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang