Keheningan semakin menyelimuti atmosfer di dalam mobil mewah itu. Kanaya yang hanya terdiam dengan pikirannya, dan Jovan yang sesekali menoleh sekilas ke arah samping demi melihat Kanaya.
"Kamu takut?"
"Gak!"
Jovan menghela napas, tangan sebelah kirinya meraih jemari Kanaya yang saling bertaut. Bisa ia rasakan, permukaan kulit Kanaya yang cukup dingin, jelas gadis itu tengah menahan rasa gugup.
"Saya sudah janji sama kamu, apapun yang terjadi, saya akan tanggung jawab Kanaya. Kalau kamu benar-benar hamil saya siap nikahkan kamu."
"Ini semua gara-gara lo tau gak!" sahutnya seraya menghempaskan genggaman tangan Jovan.
"Tapi bukan sepenuhnya salah saya, Kanaya. Kamu juga gak pernah nolak waktu saya sentuh kamu."
Gadis itu memijat pelipisnya yang mulai berkedut, rasanya dia sangat lelah untuk berdebat dan adu mulut dengan laki-laki di sampingnya itu. Pun Jovan tak lagi mengatakan sepatah kata apapun selama di perjalanan, seolah mempersilahkan keheningan menjadi penengah di antara keduanya.
Sesampainya di rumah sakit, di mana dokter kandungan yang berstatus teman dekat Jovan bekerja, keduanya sama-sama memasuki ruangan serba merah muda dan wangi bunga sirtus menguar mengelus rongga hidung. Jovan dan Kanaya duduk menghadap dokter perempuan yang nampak seumuran dengan laki-laki itu.
"Jadi gimana? Kamu bilang ada yang mau periksa kehamilan, siapa Van?"
Jovan masih mengulum bibir, dan Kanaya semakin dilanda rasa gugup yang semakin menjadi-jadi. Mereka tidak tahu harus menjawab apa.
"Anu ... ini Kanaya. Dia yang mau periksa kehamilan," ucap Jovan, praktis membuat dokter bernama Syifa itu memelototkan bola mata.
"Yang bener, Van?! Dia masih anak sekolah. Jangan bilang kamu yang hamilin dia, iya?!" Syifa menatap tidak percaya gadis yang masih berseragam SMA yang duduk di samping Jovan.
"Syifa, plis, nanti aku ceritain semuanya. Yang penting sekarang, kamu periksa dulu, apa benar dia hamil."
Perempuan itu menghempaskan napas pelan, mempersilahkan Kanaya untuk berbaring di atas brankar. Jovan beralih menggigiti kuku jarinya, entah, apakah dia harus bahagia atau sedih. Memang benar laki-laki itu menyukai Kanaya, tapi jalan mereka benar-benar salah, apalagi Kanaya masih sekolah.
Tak berselang lama, Syifa kembali dari balik gorden yang menutupi bagian brankar. Ia menatap Jovan dengan pandangan tajam sekaligus kesal.
"Van, jawab jujur, kamu yang hamilin gadis itu?" Bisik Syifa yang nyaris pelan.
Tak ada pilihan lain, laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban. Karena memang benar dialah orang yang sudah menghamili Kanaya.
Syifa beralih mengusap wajahnya kasar, sebelum kedatangan Kanaya yang nampak dan duduk kembali di samping Jovan.
"Gimana hasilnya, Dok?" Tanya gadis itu bersuara.
"Iya, memang benar, Kanaya saat ini sedang mengandung, usia janinnya baru 4 minggu. Di usia kandungan yang sangat masih muda ini, saya sarankan Kanaya jangan terlalu kecapean, apalagi umur kamu baru 17 tahun 'kan?"
Kanaya sudah pasrah dengan semuanya. Ternyata benar, dia tengah mengandung anak dari Jovan. Mimpi buruk yang tak pernah gadis itu harapkan sebelumnya. Apa yang akan ia katakan pada orang tuanya nanti? Mungkinkah orang tuanya akan tega mengusir Kanaya karena takut menanggung aib?
Di tengah perjalanan pulang, Kanaya termenung, tatapannya kosong. Bahkan raut wajah itu tak pernah berubah sedikitpun sejak ia mendengar sendiri tentang fakta bahwa dia tengah hamil muda.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Nonfiksi"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...