Kanaya masih terdiam memandangi sarapan paginya dengan begitu tak berselera. Bukan tidak suka, hanya saja isi kepalanya tengah dilanda pikiran liar akan kejadian tadi malam. Jujur saja, semalam pun Kanaya begitu sulit tertidur.
"Nay? Kamu kenapa? Kok makanannya gak di makan? Kamu sakit, hm?" Jovan menyentuh punggung tangan Kanaya ketika menyadari istrinya itu tengah melamun.
Kanaya menggelengkan kepala. "Gapapa."
"Atau makanannya gak enak ya?"
"Engga kok. Gue gak nafsu makan aja."
Jovan beralih menatap lamat Kanaya. Tangannya masih mengelus permukaan punggung tangan Kanaya.
"Terus kenapa? Kamu lagi ada pikiran?"
Ia mengangguk, memandang obsidian bening milik Jovan yang tengah mantapnya dengan pandangan teduh.
"Lo gapapa?"
"Saya?" Jovan menunjuk dirinya sndiri, dan Kanaya yang mengangguk sebagai jawaban. "Ya saya gapapa. Memangnya kenapa?"
Ingin rasanya Kanaya memberi bogeman mentah ketika melihat wajah polos Jovan kala itu. Kanaya kembali menolehkan pandangan ke arah makanan di depannya.
"Kalo mau apa-apa itu bilang. Lo lupa sekarang udah punya istri, huh?" ucap Kanaya yang mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut tanpa menoleh sedikitpun pada Jovan.
Laki-laki itu jelas tersentak, mengerti dengan arah pembicaraan Kanaya, ia membulatkan bola mata dan memilih meneguk air bening hingga kandas. Tiba-tiba dirinya merasa panas, Jovan sedikit melonggarkan dasi berwarna hijau tua di lehernya dengan gerakan kaku.
"Kanaya, kamu-"
"Gue kenapa?"
Jovan beralih menelan air liur guna membasahi kerongkongannya yang mendadak sangat kering meskipun beberapa detik lalu ia sudah minum satu gelas. Laki-laki itu terlihat gelagapan, apakah Kanaya memergokinya? Aish, itu memalukan.
"Kamu liat saya-"
"Sembarangan! Gue gak liat! Gue cuma denger lo sebut-sebut nama gue di kamar mandi. Udah gitu doang," ucapnya berterus terang, tanpa ada rasa penyesalan setelahnya.
Laki-laki itu menundukkan kepala, menutup matanya beberapa saat lalu berkata, "Maaf, saya cuma gak mau ganggu kamu, Kanaya."
"Dengan lo kaya semalem aja udah ganggu gue. Lo tau, gue sampe gak bisa tidur gara-gara lo. Emang enak main sendirian? Engga 'kan?"
Kedua tangan Jovan mengepal sempurna, mendengar ucapan Kanaya yang cukup to the point membuatnya bungkam. Ah, dia sangat frustasi.
Gadis itu lalu beranjak dari duduk, menggendong tas ranselnya. "Gue berangkat dulu."
"Tunggu dulu!"
Kanaya menoleh, dan sudah menampakkan Jovan yang sudah berdiri. Laki-laki itu menghampiri Kanaya, dengan cekatan ia mendudukkan Kanaya di atas meja makan. Ia memeluk Kanaya sangat erat, mengusap surai hitam panjang istrinya yang terikat satu.
"Saya janji gak akan kaya gitu lagi. Tapi kamu memang udah siap melayani saya, hm?" Bisiknya yang mampu membuat bulu kuduk Kanaya meremang.
"Saya gak akan paksa kamu untuk melakukan itu, Nay. Karena saya tau, hati kamu belum sepenuhnya menerima saya."
Gadis itu mendorong bahu kokoh Jovan. Menatap tajam laki-laki yang kini sejajar dengannya, ia beralih menarik dasi Jovan, mengeratkan kembali tali itu seperti sediakala.
"Gue gak mau jadi istri durhaka, asal lo tau."
Jovan tersenyum penuh kemenangan mendengarnya, seperti baru mendapat lampu hijau dari sang istri. Ia segera meraup bibir merah muda Kanaya dengan sangat rakus, mengabsen setiap celah dalam mulut Kanaya.

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Não Ficção"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...