Masih dalam pikirannya, tak henti-hentinya pula rekaman sikap acuh tak acuh teman-temannya berputar di otak gadis itu. Dia tidak mengerti, di mana letak kesalahannya hingga mereka serentak menjauhinya.
Ia memijat pelipis yang terasa berkedut, menghela napas pendek. Terlepas dari masalah yang tak ada sebab itu, Kanaya kembali teringat dengan kado pemberian Bima tadi di kelas. Gadis itu merogoh kotak kecil yang ada di dalam tas ransel, menarik lilitan pita yang membungkus kotak itu rapi.
Hingga sebuah gelang titanium motif kupu-kupu tertangkap indera penglihatan dan berhasil membuat bola mata gadis itu membulat sempurna, mengisyaratkan bahwa dia cukup terkejut dengan benda cantik yang ternyata sejak tadi terperangkap di dalam benda kecil itu.
Kanaya menarik kedua sudut bibir, menatap penuh kagum gelang yang sudah ada di genggamannya. Entah, tiba-tiba jantungnya berdebar begitu cepat. Gadis itu lantas memegangi dadanya, meremat kalung pemberian sang suami dari luar kain seragam yang melilit lehernya.
Ini salah, dia tahu itu. Tapi ia tidak bisa berbohong, bahwa laki-laki bernama lengkap Bima Satriaksa, sang ketua OSIS pemilik eye smile bak bulan sabit, laki-laki yang sudah bertahun-tahun dia kagumi, masih menjadi sosok yang menempati hatinya sampai detik itu.
"Non, mau mampir dulu ke suatu tempat, atau langsung pulang saja?" ucap supir di depan.
Suara Pak Toto seolah memaksa lamunan gadis itu untuk segera tersadar, ia menoleh seketika, lalu berkata, "Langsung pulang aja, Pak."
Kanaya memasukkan kembali gelang itu ke tempat asalnya, menyimpan kotak tersebut di dalam saku tas ransel yang cukup muat menampung benda kecil itu.
Dia kembali terdiam memandangi jalanan kota dari balik kaca mobil dengan banyak pikiran yang berhasil menambah sensasi pening di dalam kepalanya.
Saat mobil yang dia tumpangi sampai kawasan komplek dan masuk ke gerbang tinggi rumahnya, Kanaya menatap lurus ke depan, lalu menyipitkan mata ketika melihat mobil Jovan yang masih terparkir di depan garasi.
Dengan kerutan yang tercetak di keningnya, Kanaya bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Ia melirik arloji yang melilit pergelangan tangannya. "Bukannya tadi pagi bilang ada kelas?" Monolog gadis itu, menatap bingung kendaraan berwarna putih di depannya.
Kanaya berjalan cepat memasuki rumah, memastikan sendiri bahwa Jovan benar-benar ada di dalam rumah.
Cklek
Saat pintu tinggi itu terbuka, suasana hening menyelimuti rumah besar itu, seperti tak berpenghuni. Ia kembali berjalan perlahan seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut rumah.
"BI ...."
"BIBI DI MANA?!" Panggilnya.
Aneh, biasanya Bi Susi atau yang lainnya akan segera menyahut dan menghampirinya ketika gadis itu memanggil mereka.
"BI ... BIBI DI-"
Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan besar tiba-tiba menutup indera penglihatan Kanaya. Jelas gadis itu tersentak akibat ulah seseorang yang sudah tersenyum puas di belakang badannya saat itu.
"Ihh, apa-apaan sih, awas." Kanaya berusaha melepaskan telapak tangan yang menghalangi arah pandangnya meski hasilnya nihil.
"Coba tebak, ini siapa?" ucap laki-laki itu.
Kanaya hanya menghempaskan napas berat. Dari baru parfum yang dipakai sampai menusuk rongga hidungnya saja dia sudah tahu siapa oknum tersebut.
"Makhluk paling menyebalkan dan meresahkan. Iya, 'kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
OM DOSEN
Non-Fiction"Bingung mau manggil Bapak atau sayang." "Kanaya, pegang ucapan saya. Saya akan bertanggung jawab atas bayi ini." Berkisah tentang gadis SMA-Kanaya-yang hamil akibat "insiden" tak terduga bersama pria berumur 30 tahun bernama Jovan, seorang guru Dos...