19. Baikan

24.5K 1.2K 128
                                    

Perlahan, kelopak mata yang semula tertutup rapat itu, mulai menunjukkan pergerakan. Kanaya mengerjapkan bola matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam kornea matanya. Pandangan gadis itu langsung berjelajah menelanjangi ruangan yang cukup asing baginya, hingga atensinya tertuju pada sosok laki-laki yang tengah tertidur pulas, dengan sebelah tangan besar itu menggenggam tangan Kanaya.

Tidak hanya itu, ia juga melihat di depan sana, sang Ibu—Nina—tengah tertidur di atas sofa. Dia tidak tahu kenapa sekarang dia berada di rumah sakit, yang ia ingat adalah ketika tadi malam ia bertengkar hebat dengan Jovan, habis itu dia tidak ingat apa-apa lagi.

Kanaya memilih melepaskan genggaman tangan Jovan, lalu memijat pelipisnya yang terasa pening, jelas hal itu membuat laki-laki yang tengah tidur di sana membuka matanya ketika merasakan pergerakan.

Ia membulatkan bola mata seketika. "Nay ... kamu udah bangun?" ucap laki-laki itu antusias. "Bunda ... Kanaya udah sadar, Bun."

Nina sontak tersadar dengan sahutan Jovan, ia bergegas beranjak dari sofa menghampiri brankar yang ditempati sang anak.

"Alhamdulillah, sayang ... akhirnya kamu bangun juga. Bunda khawatir sama kamu, Nak. Mana, ada yang sakit gak?"

Kanaya menggelengkan kepala. "Engga, cuma pusing aja sedikit."

Jovan hanya senyum mengembang memandangi wajah sang istri, meski akhirnya Kanaya membalas tatapan itu dengan sangat dingin dan tak bersahabat. Rupanya suasana hati Kanaya belum benar-benar membaik.

Tok ... tok

Cklek

"Selamat pagi Pak, Bu."

Tepat setelah itu, seorang suster masuk ke dalam ruangan sembari membawa sarapan pagi untuk pasien. Ia berjalan mendekat dengan mendorong sebuah troli yang di mana terdapat menu sarapan berupa bubur putih dan air bening.

"Oh, sudah waktunya sarapan ya, sus."

"Iya, Pak. Silahkan."

Jovan mengambil alih mangkuk itu dengan semangat. Ia segera duduk di pinggiran ranjang untuk menyuapi sang istri.

"Biar aku suapin ya," ujarnya.

Laki-laki itu mengambil satu sendok bubur dengan takaran yang sedikit, lalu menyodorkannya pada Kanaya.

"Aaa ..."

Namun Kanaya hanya menggelengkan kepalanya tak minat, menolehkan pandangan ke arah kaca tanpa ada niatan membalas tatapan Jovan.

"Naya ... ayo sarapan dulu." Bujuk laki-laki itu.

"Iya, sayang. Dari kemarin kamu belum makan loh, emang kamu gak sayang sama bayi kamu?" Timpal Nina.

Gadis itu bungkam, seolah menulikan telinganya, tak peduli dengan semua bujuk rayu Jovan dan Nina. Dengan harapan yang tak pernah pupus, Jovan kembali menyodorkan sendok itu pada sang istri.

"Aaa, sayang ... ayo, anak kita udah laper tuh."

Ia terdiam, masih dengan pandangannya yang tertuju ke arah kaca.

"Aaa ...."

"Gak mau," jawab gadis itu pelan.

"Sedikit aja, ya?" kata Jovan, masih menggenggam sendok berisi bubur itu di depan Kanaya.

"Aku bilang gak mau!"

Prang!

Gadis itu menepis tangan sang suami yang mencoba menyuapinya, sampai sendok itu terjatuh dengan semua isinya berceceran di lantai. Hal itu jelas membuat keduanya pun suster yang masih ada di ruangan itu terkejut.

OM DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang