Senja : 0,5 + 0,5

223 20 1
                                    

Jakarta, 2018

Pandangan gadis berumur dua puluh tujuh tahun itu bersirobok dengan netra biru lelaki yang tengah memandangnya.

Perlahan si gadis menunduk, tidak kuat menatap netra yang terlihat teduh akan tetapi didalamnya sarat akan kesedihan.

Tidak perlu bertanya apa dan siapa yang mampu membuat tatapan kesedihan itu tepat di hari ulang tahun sang lelaki, karena dirinyalah sang pencipta kesedihan lelaki itu.

Kata maaf rasanya tak akan cukup untuk menenangkan hati lelaki di hadapannya.

Sudah dua puluh dua tahun ia menjadi partner perjodohan konyol lelaki itu --berkat orangtua mereka-- dan sebelas tahun menjadi tunangan sah lelaki itu.

Waktu yang cukup panjang, namun akan di akhirnya saat ini.

Tania meremas jemarinya kuat-kuat, tidak tahu harus mulai berbicara dari mana. Entah kemana hilangnya keberanian yang sudah ia pupuk sejak tadi pagi --yang bahkan mampu mengantarkannya berada di kediaman lelaki itu.

Sibuk dengan pikirannya, ia merasakan telapak tangan besar yang dingin sedang menggenggam tangannya, lalu tangan itu perlahan melepas tautan-tautan jemarinya.

"Nanti jari-jarimu terluka."

Tania tertegun. Perlahan tapi pasti, ia menegakan lehernya menatap si lelaki yang juga sedang menatapnya lalu keduanya terdiam.

Butuh waktu dua puluh lima menit untuk Tania memantapkan diri mengutarakan isi hatinya.

"Kak, maafkan aku, aku--" jeda sejenak, Tania tidak sanggup melanjutkan kata-katanya ketika melihat genangan air mata di pelupuk mata Dzenan. Dan ini adalah kali pertama Tania melihat Dzenan bereaksi seperti ini.

Ya Tuhan, apa yang telah ku perbuat. Batin Tania.

Detik selanjutnya, Dzenan mengangkat wajah, menghapus air mata menggunakan tangan. Hal itu tak luput dari pandangan Tania. Entah mengapa Tania merasa ada sesuatu yang membuat dadanya sesak tatkala melihat kerapuhan lelaki di hadapannya.

"Tidak apa, asal kamu bahagia, itu sudah cukup." Itu adalah kata-kata yang Tania dengar, di ucapkan dengan nada bergetar. Ironisnya, puluhan tahun bersama, Tania tidak pernah tau bahwa Dzenan yang di kenalnya sebagai lelaki tangguh, juga memiliki sisi serapuh ini.

Entah mendapat dorongan dari mana, Tania berdiri, menghampiri Dzenan lalu memeluk erat lelaki itu dengan tangisan yang tiba-tiba datang melanda.


Dan sampai akhir, kamu selalu seperti ini, apakah ini karena kebaikan mu atau karena keegoisanku?

000


Surabaya, 2008

Tunjungan Plaza, kali ini menjadi destinasi Tania dan kawan-kawan. Para gadis belia itu memutuskan untuk menonton salah satu film yang tengah mereka nanti-nanti. Niatnya sih sekalian untuk melepas penat setelah menjalani ulangan akhir semester.

Masih ada waktu sekitar satu jam tiga puluh menit sebelum film di mulai. Setelah mengantri membeli tiket, mereka segera bergegas ke area food court, memanjakan perut mereka dengan berbagai makanan dan minuman disana.

Butuh waktu dua puluh menit mereka menetapkan menu yang akan mereka beli. Dan bangku deret nomor tiga menjadi tempat yang mereka pilih.
"Eh Wid, kon tuku opo?" (kamu beli apa?) Tanya Sena pada Wida.

"Ayam goreng tok. Kon tuku opo Sen, jajal poo." (Ayam goreng aja, kamu beli apa Sen, coba dong).

"Jajalo, tuku cumi mbek mie. Gelem a? Sistem barter yo." (Coba lah, beli cumi sama mie, mau? Sistem barter ya?).

Suamiku Kapten (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang