IX (part 1)

3.8K 394 54
                                    

Hai!!! Maaf ya teman-teman, berhubung saya lagi sibuk 2 hari ini, jadi saya baru bisa publish sekarang. Oh iya terimakasih ya buat semua yang sudah sering mampir untuk sekedar membaca ataupun memberi voment. 😄🙏😘

***

Yuki terbangun ketika sinar matahari mulai memasuki jendela kamarnya. Dilihatanya jam diatas nakas menunjukan pukul 06.45 pagi. Ia melihat kesekelilingnya mencari sosok Stefan, namun tak ada. Yuki menepuk dahinya pelan. Suaminya pasti pergi saat ia tertidur.

"Seharusnya semalam dia membangunkanku sebelum pergi, dasar pria aneh itu" Yuki bergumam kesal. Ia mengambil pakaiannya yang berceceran dilantai dan langsung mengenakannya untuk segera bergegas turun membuat sarapan bagi kedua orangtuanya. Namun saat ia hendak meninggalkan kamar, matanya tertuju pada secarik kertas yang berada diatas ranjang tempat Stefan semalam tidur. Diraihnya kertas tersebut dan langsung membacanya. "Maaf sayang aku ingin berpamitan pada mu tapi melihat mu tertidur pulas, aku jadi tidak tega membangunkan mu. Oh iya untuk yang semalam, terimakasih. Aku harap anak kita tumbuh dan berkembang disana" Yuki tersenyum , wajahnya bersemu membaca kalimat akhir Stefan dikertas itu. Ia mengelus lembut perutnya yang datar. "Aku juga berharap anak kita segera tumbuh dan berkembang disini, aku berharap anak kita menjadi pria yang hebat seperti mu" gumamnya pelan nyaris seperti berbisik.

***
Didapur Nancy tampak sibuk berkutat dengan segala macam bahan makanan. Entah sejak kapan Nancy berada disitu. Yuki yang baru saja datang sedikit terejut melihat Nancy.
"Hai sayang, sudah bangun? Bagaimana tidurmu semalam?" Tanya Nancy.

"Tidurku nyenyak bu. Ibu sendiri bagaimana?" Tanya Yuki balik sambil berjalan mendekati Nancy untuk membantunya.

"Nyenyak juga sayang. Oh iya nanti sore kan kau sudah berangkat? Bagaimana sudah bersiap-siap?"

Yuki menggelengkan kepalanya pelan, ia berbalik untuk memeluk Nancy. Nancy sedikit bingung dibuatnya. "Ibu.. Satu bulan disana aku pasti akan merindukan ayah dan ibu" ujar Yuki lirih. Nancy tersenyum hangat. Ia menghentikan aktivitasnya kemudian membalas pelukan Yuki. "Hanya sebulan sayang. Ibu sebenarnya tidak ingin berada jauh darimu. Hanya saja ibu juga tidak ingin egois, kau jauh lebih membutuhkan suami mu"

Yuki memejamkan matanya. Yang dikatakan ibunya memang benar. Entah mengapa Yuki benar-benar tak ingin jauh dari Stefan. 7 bulan itu bukanlah waktu yang singkat. Pikirannya kalut ketika mengingat kembali banyak bekas luka ditubuh Stefan. Ia tidak tau seperti apa tugas suaminya, namun ia bisa menyimpulkan bahwa tugas yang ditanggung Stefan sangat berbahaya. Mata Yuki terasa panas, cairan bening keluar begitu saja dari kedua sudut matanya, saat ini rasa ketakutan akan kehilangan Stefan mulai melanda dirinya. Nancy tersadar Yuki menangis. "Ada apa sayang? Kenapa kau menangis?" Nancy menarik wajah Yuki lalu menghapus air mata Yuki. "Ibu.. Apa ayah sering meninggalkan ibu seperti Stefan meninggalkan ku?" Tanya Yuki serius. Air matanya masih saja mengalir. Nancy Menghela nafasnya sejenak. Ia membawa Yuki duduk dikursi yang ada disitu. "Jujur saja iya. Kadang ibu merasa kesal. Apakah ayah mu menikahi ibu hanya untuk ditinggalkan? Kadang ibu juga akan menangis seperti mu ketika Ayah mu pulang dengan keadaan penuh luka. Pernah ibu merasa sangat kecewa ketika ibu sedang mengandung Stefan ayah mu malah pergi bertugas, bahkan sampai Stefan lahir dan berumur 5 tahun barulah ayah mu pulang untuk melihat kami. Tapi seiring kebersamaan kami, ibu semakin mengerti, tugas ayah mu memang tak bisa ditinggalkan, banyak nyawa yang bergantung pada mereka yang memiliki pekerjaan yang sama seperti ayahmu. Termasuk suami mu. Percayalah dia akan baik-baik saja." Tangan Nancy terangkat mengelus pipi Yuki. Yuki menghembuskan nafasnya perlahan. Ia mengusap air matanya dan mencoba untuk tersenyum.

"Apa sesulit ini untuk menjadi istri mu? Aku mohon jangan pernah tinggalkan aku" batin Yuki.

***
Bosnia

Suamiku Kapten (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang