Hola👋
Sebelum membaca alangkah baiknya tekan tombol vote terlebih dahulu😊
Setelah itu?
Selamat membaca😍
Peony tadinya hanya ingin berjalan-jalan saja di sekitaran gedung apartemennya. Tidak berniat pulang karena Xyan sudah menunggu di depan pintu. Akhirnya Peony membalikan tubuh lalu berjalan-jalan sore.
Duduk di taman sambil menikmati makanan ringan yang dia beli. Peony bahkan masih menggunakan seragamnya. Pandangan Peony jatuh pada sosok yang dia kenal sedang berjalan linglung ke arah rumah kosong, dia mengerjapkan matanya untuk memastikan. Peony pun mengikuti diam-diam, saat Matta masuk ke dalam rumah itu, Peony ragu untuk ikut masuk karena tampilan depan rumahnya yang sangat suram.
Matta gak lagi ritual ngasih tumbal pesugihan, kan?
Peony melihat kanan-kirinya dengan cemas. Sudah beberapa menit Matta belum kembali, dia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam sana. Tepat saat dia tiba di pintu salah satu ruangan, Peony berdiri kaku melihat Matta hendak menggantung diri. Air mata mengalir begitu saja, dia berlari dan memeluk Matta. Melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan Matta. Peony menangis dan menangis.
Dia memeluk Matta erat sambil menggumam kata 'maaf' berkali-kali. Ini salahnya, andai dirinya tidak membuat karakter Matta seperti ini mungkin Matta tidak akan mencoba bunuh diri. Dia tidak bisa bayangkan jika dirinya tak melihat Matta hari ini, jika dia memilih pulang ke apartemennya, jika saja dia tidak menghindari Xyan saat itu, mungkinkah Matta tinggal nama keesokkan harinya?
Peony menelpon Braga. Dia tidak bisa membawa tubuh besar Matta sendirian. Tak lama kemudian Braga datang dengan wajah bingung. Dia melihat Matta pingsan dalam pelukan Peony. "Kenapa Matta bisa ada disini?"
Peony tak menjawab, dia berusaha meredakan tangisannya. Kemudian Braga menghelakan napas dan mengangkat tubuh Matta. Rasa penasarannya dia tekan dalam-dalam, Braga tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. "Ayok, kita ke apartemen gue."
Peony mengikuti kedua lelaki itu dari belakang, tangannya tak henti menghapus air mata yang jatuh. Matta diletakkan di kasur Braga.
Peony menatap kosong ke arah Matta yang berbaring disana. Braga datang membawa air dan menyodorkannya pada Peony. "Minum dulu biar lebih tenang."
Setelah minum, Peony menatap Braga dengan raut sedih. "Tolong jangan tanya kenapa."
Braga menatap Peony tenang dan membalas, "Iya."
Perlahan Matta membuka matanya. Peony segera mendekat. "Matta, apa yang lo rasain? Mau minum?"
Braga yang berdiri tak jauh dari posisi Peony sedikit mengerutkan dahi tak suka. Peony yang dulu juga baik padanya, tapi akhir-akhir ini dia menjadi sangat jauh dengan Braga.
Matta hanya diam dan menatap Peony. Kemudian dia menoleh pada Braga. "Tolong tinggalin gue sama Peony sebentar aja, ada yang perlu gue omongin sama dia."
Braga mendengus kesal. Tanpa banyak bicara dia keluar dari kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
Mata Peony berkaca-kaca lagi, dia hendak menangis. "Matta.. Jangan tinggalin gue."
Matta mengulurkan tangannya menghapus air mata Peony. "Makasih."
"Kalo lo sangat berterimakasih sama gue, tolong bertahan. Hidup memang sulit, tapi tolong bertahan."
Peony menggenggam tangan Matta dengan lembut. "Setiap kali lo ngerasa lelah, tolong ingat gue. Walau cuma satu orang, tolong jadiin dia alasan lo untuk tetap bertahan. Tolong."
"Gue-"
Peony memotong ucapan Matta. "Lo udah janji mau ngajarin gue matematika! Lo gak boleh pergi! Gak boleh ingkar janji!"
Matta tersenyum. "Gue akan berusaha."
***
Peony kembali ke apartemennya. Menghelakan napas berkali-kali. Dia melirik ponselnya yang menampilkan kontak Zeno. Tadi, Matta memutuskan untuk menginap di apartemen Braga dan mereka berdua menyuruh Peony untuk pulang. Dia sedikit lega meninggalkan Matta disana, setidaknya ada Braga yang akan mengawasi.
Sekarang yang dia pikirkan adalah alasan Matta melakukan itu. Dalam novel Matta tidak dituliskan sedepresi ini hingga mencoba bunuh diri. Bahkan dia bertahan hingga lulus dengan nilai terbaik.
Peristiwa ini terjadi karena dirinya merubah alur. Matta bilang orang tuanya mengetahui tentang dirinya yang sering menyakiti diri sendiri, mereka menyalahkan Matta, memaki hingga memukuli. Satu orang yang terlintas di pikirannya saat itu adalah Zeno. Tidak mungkin orang tua Matta tahu secara tiba-tiba.
"Manusia gak berganti kulit, cuma uler yang ngelakuin itu." Iya. Peony tahu dari awal karakter Zeno seperti apa, seharusnya dia tidak merasa aneh lagi jika tiba-tiba sifat asli Zeno keluar. Pada dasarnya, Zeno memang antagonis yang dia beri gelar sebagai peran utama laki-laki dalam novelnya. Zeno memperlakukan Peony dengan baik, bukan berarti dia memang berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Karena ambisi Peony untuk merubah alur, dia hampir menumbalkan satu tokoh. Peony merasa bersalah. Harusnya dia tidak membuat tokoh Matta memiliki masalah hidup sebesar ini, seharusnya dia tidak-
"Haaahhh.... Gue salah." Peony kembali menangis. Dia tidak ingin Matta pergi tetapi dia juga tidak mau cerita ini berjalan seperti alur seharusnya.
Pintu kamar Peony terbuka, Hades menatap lelah Peony yang menangis dipojokan tempat tidurnya itu. Selanjutnya dia menghampiri Peony, duduk di sebelahnya sambil mengelus kepala Peony lembut dan hati-hati. "Udah berhasil semangatin Matta yang terluka padahal lo lebih berdarah, hebat. Lo hebat. Peony juga baik. Jangan nangis lagi. Jangan nyalahin diri sendiri."
Hanya Hades. Dia yang benar-benar tahu perasaan Peony. Sampai saat ini perasaannya pada Hades tidak berubah. Hades yang selalu ada saat suka dan duka, Peony perlahan membalas pelukan Hades. "Lo jahat, Hades!"
"Kalo gak mau gue makin suka sama lo yaa jangan kayak gini!"
Hades terkekeh. "Perlakuin gue semau lo. Sukai gue sebanyak yang lo mau, asal lo janji satu hal ke gue."
Peony melepaskan pelukannya dan mendonggakkan kepala menatap Hades.
"Janji, setelah semua yang mau lo lakuin di dunia ini terwujud, lo akan kembali,"
"Ke dunia asal lo."
Holaaa👋
Hades muncul lagi guyss siapa yang seneng?😂
Jangan lupa vote dan komen ya👍 Chapter berikutnya aku posting jam 6 sore nanti..
👋👋👋👋👋