Drap, drap, drap.
Langkah itu terdengar begitu lesu, berhenti tepat di balkon kamar, Rosie menghela napasnya yang terasa berat. Sejenak netranya mengedar pandang pada keadaan sekitar, semburat senja sedikitnya membuat sekelilingnya menjadi berwarna jingga.
"Munafik jika aku mengatakan senja itu buruk, hanya saja mengapa hal yang begitu indah dan membahagiakan hanya bertahan sebentar? Sedangkan duka dan lara tinggal lebih lama dan menyusahkan."
"Itu karena waktu."
Rosie menoleh ke belakang saat seseorang menyahut secara tiba-tiba, RM. Entah sejak kapan pria itu masuk ke dalam kamarnya, karena seingatnya saat ia kembali RM tidak ada di rumah.
"Kau?"
RM menghiraukan rasa bingung Rosie dan memilih melanjutkan langkahnya hingga berdiri tepat di sebelah gadis bersurai pirang itu. Tangannya ia lipat di dada dengan pandangan lurus menatap senja.
"Aku pernah mendengar seseorang mengatakan hal ini, semua orang mengerti apa itu waktu, mereka memiliki jam di rumahnya atau bahkan di tangannya. Beberapa orang mungkin memiliki jam tangan dengan harga fantastis, namun tidak banyak dari mereka yang mengerti waktu."
"Seperti yang kau bilang, mengapa suka bertahan sebentar dan duka lebih lama, itu karena waktu akan terasa lama bagi mereka yang menunggu, terasa cepat bagi mereka yang berbahagia, dan terasa lambat bagi mereka yang berduka."
"Beberapa orang mengabaikan setiap detik yang mungkin berharga baginya, hingga saat waktunya habis dia hanya bisa menyesal. Rosie, pada dasarnya tidak akan suka tanpa adanya duka, kedua hal itu akan tetap berdampingan sampai kapanpun. Namun, terlepas dari semua hal itu perlu kau sadari bahwa sehat adalah harta yang paling mahal. Kau boleh bersedih atau marah tentang apa yang terjadi, tapi ku harap kau tetap memperhatikan dirimu."
Total labiumnya terasa kaku untuk sekedar menyetujui kalimat RM, bahkan hingga pria itu pergi dari kamarnya, ia masih diam tak bergeming. Sejemang ingatan perihal mendiang mamanya terlintas, waktuㅡ tidak ada yang bisa memajukan atau bahkan mengundurkannya sesuka hati. Suka dan duka akan tetap berdampingan, mutlak itu adalah hal yang benar.
Ia ingat benar di mana hari terasa begitu gelap saat dirinya kehilangan figur ibu dalam hidupnya, hampir putus asa, namun nyatanya ia mampu bertahan dengan baik hingga saat ini. Perlahan-lahan ia berhasil melawan dirinya, melawan traumanya.
Menjalani hidupnya hingga mulai meniti karirnya di dunia modeling, Rosie tahu betul bahwa perjuangannya di masa lalu telah membawanya sampai dititik ini, begitu terang dan membanggakan. Sayang beribu sayang, nama baik yang selama ini ia jaga dengan baik telah dicemarkan oleh kekasihnya sendiri.
Kecewa, Rosie benar-benar tak habis pikir dengan Victor. Ia pikir setelah ini semuanya akan baik-baik saja dan mungkin akan kembali normal seperti sebelumnya, namun ternyata pengakuan Victor berhasil membuatnya merasa ragu apakah akan ada akhir bahagia bagi keduanya.
Sungguh bagi seorang dengan harga diri sebagai pilar utama sangat tidak mentolerir hal yang dapat mencemarkan nama baiknya serta martabatnya. Rosie bisa saja memperburuk keadaan dengan menulis serangan balik untuk Victor, hanya saja ia merasa terlalu malas untuk itu.
"Bahkan tanganku terlalu berharga untuk mengetik berita murahan seperti itu."
Rosie berbalik dan membanting tubuhnya ke atas ranjang, meski sesekali lengannya terasa nyeri tapi itu bukan hal penting baginya.
"Hei, chipmunk!" Seru Jane dengan kepala menyembul dari balik pintu.
"Ada apa?"
"Kau hendak tidur?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] PLUVIOPHILE
FanfictionMenawan, kaya raya, dan terkenal. Hidup seakan begitu sempurna bagi Victor dan Rosie. Diliput media, wara-wiri di televisi, hingga didambakan banyak pihak untuk menjadi brand atas produknya telah mereka dapatkan. Namun, siapa sangka duka mendalam be...