Tepat hari ini Victor akan meninggalkan Australia, cukup berat rasanya mengingat masih ada hal yang belum ia selesaikan. Semalaman ia sudah memikirkan apa yang harus ia lakukan ke depannya dan dengan mantap ia memutuskan semuanya. Termasuk tentangnya dan Rosie. Mau tidak mau, suka tidak suka, berat tidak berat, inilah keputusannya.
"Kau yakin hanya meninggalkan satu pesan untuk Rosie?" Tanya Jinan memastikan.
"Ya, aku tidak tau bagaimana takdir berkata. Apakah aku akan benar-benar bersatu dengannya atau kita benar-benar cukup sampai di sini. Aku hanya ingin fokus untuk karirku saat ini." Jawab Victor.
"Kau mengingkari ucapanmu, Victor."
"Aku tau, aku bilang mengutamakan Rosie, hanya saja ada masa depan yang harus aku pertanggungjawabkan, Jinan. Keluargaku kelak, masa tuaku, masa tua ayahku, aku harus menjamin semuanya dengan baik. Aku tau aku plin-plan, tapi aku akan membiarkan takdir bekerja. Jika Rosie memang untukku, aku yakin takdir akan membawanya kembali padaku."
"Baiklah jika itu maumu."
"Anak-anak, kita harus segera pergi!"
Victor dan Jinan segera bangkit dari duduknya sambil menyeret koper masing-masing. Mulai meninggalkan apartemen, ketiganya akan meninggalkan Australia dalam satu setengah jam ke depan.
Di dalam taksi itu, Victor duduk dengan tenang. Matanya menatap langit yang begitu biru, musim dingin baru saja berakhir.
Aku rindu hujanku, terlebih dirimu. Aku selalu menantikan hujan tanpa tau diri hingga aku mengecewakan musim-musim yang lain karena keegoisanku. Rosie, jika hujan selalu datang untuk bumi, mungkinkah kau datang untukku suatu saat nanti? Untuk membasahi bumiku yang kering, yang kering sejak sepeninggalanmu. Jika saja, jika saja aku dapat menurunkan hujan kapan pun aku menginginkannya, mungkin aku selalu bisa menghibur diriku dengan itu. Hanya saja semenjak aku bertemu denganmu, sepertinya aku telah berubah. Aku tetap seorang penyuka hujan, hanya saja hujanku sudah berubah, bukan lagi kumpulan air yang ditumpahkan oleh awan, melainkan kehangatan yang kau berikan. Sial, ini menggelikan.
Jinan menatap Victor dengan aneh saat Victor tiba-tiba bergidik, kemudian terkekeh padahal ia sibuk menatap langit. Jujur saja temannya itu menjadi aneh semenjak mengenal cinta, bahkan cenderung gila.
Saat taksi berhenti di Bandara Sydney, ketiganya segera turun dan mengeluarkan koper mereka dari dalam bagasi. David yang melihat Victor tampak berat untuk melangkah masuk, lantas menepuk bahu putranya pelan.
"Masih ada waktu jika kau ingin membatalkan kepergianmu, pikirkan sekali lagi, Victor."
"Tidak, ayah. Aku akan kembali ke Inggris."
David tersenyum tipis saat Victor menjawabnya dengan tegas, tanpa berlama-lama ia mulai berjalan memasuki bandara yang diikuti oleh Jinan dan Victor. Media, beberapa media menyorot kedatangan Victor meski pria itu sudah berpenampilan sangat tertutup. Bahkan dengan lancang para wartawan menanyakan hal yang cukup kasar untuk Victor tentang skandalnya waktu itu.
"Media memang parasit." Gumam Jinan.
"Kita harus lebih cepat." Titah David yang merasa tak nyaman karena keberadaan media.
Setelah berjalan cepat demi meninggalkan media, akhirnya ketiganya mulai aman dan segera melakukan check in.
"Wartawan macam apa mereka itu? Bahkan kode etiknya saja mereka tidak paham." Cibir Jinan yang masih merasa kesal.
"Sudahlah, biarkan saja." Victor menepuk bahu Jinan dan kembali berjalan masuk.
Karena jam keberangkatan masih 50 menit lagi, ketiganya memilih bersantai sambil menunggu panggilan dari maskapai. David sibuk dengan pembicaraan teleponnya bersama sekretarisnya, Jinan menatap layar ponsel sambil tersenyum aneh, sedangkan Victor memilih bermain game. Sebenarnya hanya untuk mengalihkan pikirannya dari Rosie, ia yakin Jisella sudah memberikan pesan itu kepada Rosie, tapi kemana gadis itu? Apa sama sekali tak berniat mengucapkan selamat tinggal padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] PLUVIOPHILE
FanficMenawan, kaya raya, dan terkenal. Hidup seakan begitu sempurna bagi Victor dan Rosie. Diliput media, wara-wiri di televisi, hingga didambakan banyak pihak untuk menjadi brand atas produknya telah mereka dapatkan. Namun, siapa sangka duka mendalam be...