23

52 5 2
                                    

Di depan cermin ada Graha yang sedang menyisir sambil membuat jambul khatulistiwa. Siulan manja memenuhi ruangan yang serba biru ini. Gerhana melihat geli kembarannya itu.

“Azek. Gua cakep beut,” puji Graha pada dirinya sendiri. Jambul dielus pelan supaya tegak.

Gerhana menaruh buku sejarah peminatan ke kasur. “Najis. Lu itu mirip kera raksasa Giganthropus,” ejek lelaki kaus biru ketat.

Laki-laki jaket cokelat menoleh. “Baru dengar gua kalau kera ada namanya. Mana ribet lagi.” Kembali dia menghadap kaca sambil merapikan jaket.

“Namanya Giganthropus. Kera itu hidup pada zaman prasejarah. Berdasarkan geologi dia itu hidup pada zaman tersier tepatnya pada masa pilosen pada dua belas juta tahun yang lalu.”

“Oh. Buset lama juga ya. By the way, bentukan tuh kera kek gimana dah?”

Cowok badan kekar mengubah posisi jadi telungkup. “Gede, berbulu, jelek. Kayak lu gitu.” Gelak tawa Gerhana sangat pecah. Graha menatap tajam kembarannya. Diam-diam tangan kanan meraba meja dan mengambil sesuatu.

“Mirip lu yang ada.” Sebuah kaus kaki bekas sekolah dia lempar tepat masuk ke mulut Gerhana.

Gerhana mengambil kaus kaki hitam itu dari mulut. “Kampret! Kaus kaki lu bau!” umpat pria itu. Sekarang giliran Graha yang tergelak.

Sekali cowok itu memantaskan diri di depan kaca. “Sudah ganteng. Waktunya date sama Ayang.”

“Ayang mana lagi itu?” tanya Gerhana muak.

Graha membuka pintu kamar. “Anak kelas sepuluh IPA. Doakan sukses ya, Bro,” pintanya sambil mengangkat ibu jari.

“Kalau ini enggak dulu. Lagian ngapain gua mendoakan orang lagi selingkuh.” Gerhana bergidik ngeri.

“Ini itu bukan selingkuh. Tapi lebih ke seleksi memilih jodoh.” Kalau manusia tukang ngomong pasti ada saja jawaban yang bisa membenarkan kelakuannya.

Gerhana memutar bola mata malas. “Kelakuan lu itu sudah parah sekali. Dari kelas sepuluh lu sudah jago mainin lima cewek. Sok-sok bilang enggak mau menyakiti perempuan. Ini apa kalau bukan menyakiti, Mas Graha?” ceramah Gerhana sedikit gemas.

“Terus apa kabar sama lu? Lu mau menjadikan cewek taruhan kan? Cuman demi sontekan, uang, sama apa tuh satu lagi gua lupa. Mana ceweknya yang susah mencintai orang plus strict parents. Ngaca!” balas Graha membuat Gerhana sekakmat. Laki-laki itu lantas menutup pintu dan membiarkan adiknya di kamar.

Mendapat ceramah seperti itu membuat rasa bersalah yang bersarang di hati kembali naik ke permukaan. Gerhana menundukkan kepala untuk bertanya pada dirinya kalau dia melakukan hal manis dan bilang suka itu atas dasar kemauan hati atau cuman pemanis taruhan. Entahlah dia sangat bingung.

☆☆☆

Cacing di dalam perut sudah mulai demo. Tiga menit lagi jam istirahat tiba. Namun, guru fisika masih saja menjelaskan materi. Katanya tanggung sedikit lagi. Crystal menguap karena bosan dan tidak terlalu suka dengan mata pelajaran tersebut.

“Segitu dulu pelajaran kita hari ini. Kalian sudah boleh istirahat,” ujar Bu Eva. Guru berlogat betawi membereskan barang dan keluar setelah mengucap salam.

Penuh semangat geng Crystal langsung ke kantin. Perempuan jaket hitam berjalan di belakang 4 temannya. Meski di belakang, Crystal tetap santai. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Sekadar mengintip kelas 12 IPA yang dekat-dekat kantin.

Ketika hampir dekat kantin, tidak sengaja netra cokelat tua Crystal melihat sorot dingin dari mata indah milik lelaki jaket denim. Sebagai teman yang baik harus tersenyum. Maka tersenyumlah si Crystal kepada pria itu.

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang