31

50 6 0
                                    

Telepon semalam tidak mati. Tiga perempuan masih setia mengobrol. Untung Crystal membawa earphone supaya suara Rania dan Tari tidak terdengar dan tidak buat malu. Crystal menaruh tas di dekat kaki meja. Dia melanjutkan obrolan.

Kelas masih sepi sekali. Sudah sengaja datang agak telat dari biasa, tapi sama saja. Ini yang rajin Crystal atau teman-temannya yang malas? Crystal mengangkat tas dan menaruh di atas pangkuan. Map berisi kertas polio dikeluarkan dan ditaruh di dalam loker meja.

Crystal memencet off mic saat melihat ada satu plastik putih besar di atas meja. Matanya melirik ke atas dan menjumpai sosok pria yang sedang menyugar rambut. Sudah seperti ciri khasnya kalau lelaki di depannya memakai jaket denim. Crystal sampai heran apa tidak bau jaketnya dipakai terus atau memang cowok ini punya banyak jaket yang sama.

Gerhana memutar badan dan tersenyum. “Selamat pagi, Aca,” sapa cowok itu.

Satu earphone dilepas dari telinganya. “Pagi, RP. Lu ngapain ke kelas gua bawa plastik IndoMei?” tanya wanita memakai bando warna merah penasaran.

Cowok itu tidak menjawab pertanyaan Crystal. Dia meraih plastik dan membukanya. Plastik itu agak didorong supaya dekat dengan gadis yang masih sibuk mengobrol. “Buat lu. Biar enggak jajan terus di Kantin. Enggak sehat makan mi sama solutang melulu.”

“Lebai lu.”

“Gua enggak mau kalau lu sakit perut gara-gara makan makanan Kantin. Di sana juga belum tentu higienis.”

Crystal tertawa pelan menanggapi Gerhana. Jantungnya mendadak berdisko saat Gerhana bertopang dagu dan melihat dirinya sambil tersenyum. Senyum manis yang jarang dikeluarkan untuk wanita di SMA 1 Jaya Bangsa.

“Jangan kayak gitu kenapa liat guanya,” tegur Crystal menutupi salah tingkah.

“Lu cantik kayak bidadari.” Kalimat manis meluncur lancar dari Gerhana. Crystal terdiam karena enggak tahu harus bereaksi apa. Jarang sekali ada lelaki yang memujinya cantik. Papa sendiri saja cenderung tidak pernah. Baru akan memuji kalau ditanya.

Gerhana mengambil satu bungkus biskuit dan membukakan. Satu biskuit hitam berbentuk lingkaran disodorkan ke mulut Crystal. “A. Gua tahu ini kesukaan lu.”

“Tahu dari siapa gua suka biskuit ini?”

“Adalah. Buruan buka mulut. Pegal nih tangan gua.”

Crystal yang tadi hanya menatap biskuit itu akhirnya mau membuka mulut. Pelan-pelan dia menikmati rasa manis krim putih sebagai isi biskuit. Potongan biskuit sudah berhasil dia telan. Kini Gerhana menyuapi lagi potongan kedua.

“Oh. Pantes ya dari tadi diam doang di telepon.” Rania tiba-tiba muncul dan sudah di depan mata. Gadis itu melangkah ke tempat duduknya diikuti Ara di belakangnya.

Ara menaruh satu plastik berisik sebungkus nasi kuning. Bekal andalan setiap sekolah. “Kalian itu gua lihat-lihat cocok. Kenapa enggak pacaran aja?” Kedua alis tipis gadis itu diangkat berulang kali.

“Gua belum mau pacaran ya, Ra,” jawab Crystal malas.

“Belum mau apa masih gamon?”

Crystal memutar bola mata malas. “Belum mau.”

Sekarang gadis diikat ekor kuda beralih menatap cowok yang pura-pura main ponsel. “Kalau lu sendiri gimana, Ger? Ger?” Gerhana langsung menoleh.

“Apanya yang gimana?” tanya Gerhana sok bingung.

“Ish. Lu gimana mau pacaran enggak sama Crystal? Mumpung gua restuin.”

Gerhana melirik gadis yang sedang menghadap belakang sekilas. “Tergantung dia,” balasnya sembari mengangkat dagu untuk menunjuk.

Dengan jahil gadis bernama Zhafira menepuk kedua pundak Crystal dan menaruh dagu pada pundak kanan Crystal. “Tuh, Crys. Dia udah mau. Katanya tergantung lu.”

“Guanya belum mau.” Crystal kembali menghadap depan. “Ger, enggak apa-apa kalau gua masih belum mau pacaran sama lu?” tanya Crystal cemas. Takut cowok ini bete.

“Enggak apa-apa dong. Itu keputusan lu. Lagian gua enggak mau maksa.”

Crystal tersenyum simpul. “Makasih ya. Kalau gua siap buka hati, gua bakal bilang ke lu.” Bibir Gerhana membentuk setengah lingkaran bagian bawah. Lelaki itu mengangguk penuh pengertian.

☆☆☆

“Nona manis siapa yang punya?” goda Graha kepada salah satu siswi yang melintas di depan kelas 12 IPS 3. Graha sedang bosan karena jam kosong. Maka dari itu, dia pergi ke kelas kembarannya yang kebetulan jam kosong juga.

Sontak Jo memiting leher lelaki berkaus hitam. “Godain cewek mulu ya, Kau.” Kepala Graha diulek gemas oleh Jo. Sikap playboy cowok itu masih saja melekat.

“GRAHA! KATANYA SEMALAM LO MAU TEMENIN GUA JALAN. KENAPA ENGGAK DATANG.” Seorang siswi dengan baju sedikit ketat melongok dari pintu. Sepertinya gadis itu tahu ada suara buaya.

Graha hanya menyengir. “Anu ... gua lupa. Semalam ketiduran. Habis futsal sama Gerhana.” Tengkuk diusap untuk menetralkan rasa panik. Ringisan pelan lolos untuk merutuki kebodohannya. Semalam Graha pergi bersama Ica.

“Apaan. Semalam dia pergi sama ....” Mulut Gerhana langsung dibungkam. Kesal karena telapak tangan Graha sedikit bau, maka Gerhana menghempaskan kasar. “Tangan lu bau jengkol. Habis makan jengkol ya lu,” omel lelaki yang rambutnya sedikit panjang.

“Iya. Gua belum cuci tangan juga.”

Gerhana mendengkus. “Mana napas lu bau lagi.” Telapak tangan dikibas-kibas untuk mengusir aroma laknat ini.

“HAH.” Jahil Graha memberikan napas di depan muka kembarannya.

“Kurang ajar ya lu!”

Billy menyandarkan kedua tangan ke belakang. Menatap santai keributan Kakak Adik kembar. “Ribut terus kerjaannya,” gumamnya pelan.

Graha dan Gerhana berhenti adu mulut. Sudah seperti perempuan ya mereka. Gerhana mengantongi ponsel. Laki-laki berbadan tegap bangkit. Hal itu mengambil atensi 4 orang di bangku koridor.

“Mau ke mana?” tanya Jo.

“Bolos. Bosan gua sekolah terus. Mau ikut?” tawar Gerhana sembari memakai jaket denim.

“MAU!”

Bersambung.....

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang