05

78 7 0
                                    

Semua kelas dipulangkan lebih awal. Guru-guru sedang rapat untuk acara lomba 17-an. Namun, meski pulang cepat kelompok Crystal enggan pulang. Mereka tetap stay di sekolah sambil menikmati roti bakar.

Dok dok dok

Rusuh sekali! Gerhana, Graha, Jonathan, Billy, dan Tama asal menyelonong masuk. Mereka mengambil kursi dan menata kursi dekat para cewek. Baru juga berteman dua hari, tapi mereka sudah akrab sekali.

Cowok dengan gelang hitam mencomot roti bakar. “Kayak tahu ini roti.” Graha membolak-balik roti. Dahinya berkerut saat mengingat kalau tidak lama dia pernah melihat makanan bertekstur lembut isi cokelat–kesukaan Crystal. Lelaki itu menyeringai saat ingat dari siapa makanan ini. “Ahay, gua tahu dari siapa ini roti.”

“Dari siapa?” Gerhana menaikkan dua alis.

“Kepo lu kayak dora,” jawab cowok topi hitam dengan muncung di belakang.

Gerhana menatap sebal kembarannya. Dia jadi penasaran dari siapa ini? Ingin mencari tahu, tapi untuk apa juga. Ah, sudahlah.

Billy diam saja. Tatapan lelaki itu lurus menatap perempuan rambut sedada bergelombang. Diam-diam kamera ponsel mengarah kepada perempuan cantik yang sedang bertopang dagu menatap pemandangan murid keluar gerbang.

Flash yang belum mati membuat perempuan itu menoleh. Sedikit salang tingkah cowok itu saat mematikan ponsel. Billy bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia malah sok memperhatikan Jonathan mencoba menggombali Ara.

“Gerha, lu ngapain foto gua?” Gawat! Ibu PKS mulai mengamuk. Selamat kau Billy. Masih untung ada yang menyalakan flash.

“Tadi gua mau ambil koin yang masuk ke kolong.” Koin perak berhasil diambil. “Nah, untung enggak hilang. Lumayan buat bayar utang di Warung Mbak Monik.” Logam itu dicium.

“Sampeyan kebiasaan. Gaweane gor ngutang wae.” Billy mengalihkan rasa salah tingkah. Arti dari ucapan Billy adalah Kamu kebiasaan. Kerjaannya cuman ngutang saja.

Gerhana pun tidak bersalah. Dia menyengir seraya menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Malu-maluin keluarga Pradipta lu. Makanan murah doang ngutang.”

Air muka cowok jaket denim berubah gelap. “Banyak omong lu, Gra. Lu lebih malu-maluin. Cewek satu kodi. Setiap kali acara party keluarga pasti gonta-ganti.”

Kedua tangan Graha direntangkan. “Masa bodo. Toh, kawan-kawan Papa pada setuju. Secara gua ganteng.” Dengan PD dia merapikan jaket seperti CEO merapikan jas.

“Huwek!” Kompak yang lain.

“Mama telepon tuh,” tegur Tama ketika tidak sengaja melihat ponsel warna merah muda. Buru-buru Crystal menjauh dari teman-teman.

“Kenapa, Ma?”

“Pulang. Tetangga kamu si Chery, Naufal, Abel sudah pada keluar. Kamu ke mana?” Layar itu dijauhkan dari telinga.

Gadis itu mendengus. “Aku masih di sekolah.”

“Ngapain di sekolah? Orang guru-guru rapat. Lagi pacaran ya?”

“Enggak.”

“Buru pulang. Papa sebentar lagi pulang. Kamu pulang sendiri ya. Gausah sama temen cowok.”

“Iya.” Panggilan diputus. Crystal segera masuk dan membereskan barang-barang.

“Buru-buru amat,” tegur Ara.

Tas hitam ditutup. “Disuruh pulang sama Mama. Gua duluan ya.” Satu pundak menggendong tas. Langkah Crystal terhenti saat pergelangan tangan ditahan oleh sesuatu.

Pemuda jangkung berisi berdiri. Dia memindahkan tas di meja ke pundak. “Gua antar,” ujar Gerhana tulus.

Pelan-pelan tangan besar diturunkan. “Enggak usah, Ger. Merepotkan.”

“RP not Ger,” ralat cowok topi hitam.

“Iya, Ar pi maksudnya. Lu enggak perlu repot-repot deh. Gua duluan guys. Bye.” Crystal melambaikan tangan dan menghilang di balik pintu.

Tama menepuk pundak sohibnya. “Tenang, Sob. Masih ada waktu. Buruan lu buat dia baper. Hadiah besar menanti. LAMBORGHINI,” bisik cowok baju putih menekan merek mobil.

Gerhana menatap lurus tanaman di luar kelas. Satu sudut bibir naik ke atas.

Bersambung....

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang