51

40 3 0
                                    

Dengan hati gembira, Gerhana berjalan cepat untuk menemui lelaki jaket hitam yang sedang berdiri di depan pintu masuk warung. Gerhana langsung memeluk erat lelaki itu. Pelukan itu semakin erat. Tanpa sadar tahu-tahu cairan bening meluruh dari mata turun ke pipi.

Gerhana mengurai pelukan. Kedua tangan menepuk pundak Kenzo. “Thanks because you have helped me. Lo keren. Gua aja enggak bisa nangkep si Angkasa.” Gerhana tersenyum bangga kepada Kenzo.

“Santai. Gua juga lakuin ini karena Gavin itu bagian dari SMASA. Sudah seharusnya sesama warga sekolah saling tolong menolong."

Tiba-tiba pundak Kenzo ditepuk dari belakang. Laki-laki itu berbalik dan mendapati Graha yang sudah mengulurkan tangan.

“Gua mau ucapin makasih juga. Mungkin dengan makasih doang enggak cukup buat balas jasa lu.”

Kenzo tersenyum tipis dan membalas uluran tangan itu. “Iya.”

“Sebagai balas budi. Bagaimana kalau lu bergabung sama Bima Sakti. Lu langsung jadi ketua,” cetus Gerhana.

Sorry for before. Gua bukannya mau menolak, tapi gua banyak kepentingan. Jadi, gua mungkin enggak banyak waktu buat kalian.”

Gerhana mengangguk paham. Ia memaklumi kalau Kenzo menolak. Secara Kenzo itu adalah aset berharganya SMASA. Pasti setiap hari pekerjaan lelaki tinggi kurus ini adalah duduk di meja belajar sambil membaca buku tebal.

Graha merangkul bahu Kenzo. “BTW, how did you find the evidence?” tanyanya.

“Gua enggak sengaja menemukan sebuah gundukan tanah di belakang sekolah yang SUS. Gua langsung buka ada sebuah kantong plastik hitam berisi celurit yang ada darahnya. Terus juga ada slayer merah bertuliskan Bima Sakti yang gua yakin punya anak SMASA. Belum lagi ada flashdisk enggak tahu punya siapa. Gua yakin kalau itu bekas pembunuhan.”

Kenzo berhenti sejenak karena lelah banyak omong. “Gua langsung bawa ke kantor polisi buat memastikan benar atau tidak dugaan gua. Pas dicek ternyata benar kasus pembunuhan dan polisi langsung gerak cepat menemukan pelaku.”

Penjelasan Kenzo membuat semuanya takjub. Bagaimana bisa personil geng tongkrongan ini tidak tahu kalau ada gundukan tanah di sana. Padahal mereka sering juga menongkrong di sana bahkan sudah melihat gundukan itu. Mereka malah mengira kalau itu cuman tanah biasa.

Kenzo bergeming. Memperhatikan sekitar agar pas untuk ia pamit pulang. “Urusan gua sudah selesai. Gua harus pulang.” Lalu cowok itu balik kanan untuk keluar.

“Tunggu,” cegat Gerhana. “Kok si Jo bisa tahu kalau lu yang laporin?”

“Kepergok dan gua kasih tahu.” Kenzo terus melangkah ke arah motornya. Lelaki itu memasang helm dan memundurkan motor. Ia harus segera pergi karena malas terlalu lama dan diwawancara. Menurut dia itu wasting time.

☆☆☆

E

sok hari Gerhana dan Graha bersiap untuk menuju kantor polisi di mana makhluk jahat itu ditahan. Kedua anak lelaki pergi ke sana mengendarai mobil BMW hitam. Sesampai di sana mereka langsung bilang ke polisi ingin menemui Angkasa.

Mereka menunggu di ruang tunggu. Tak lama sosok yang rambut mulai panjang datang. Gerhana dan Graha disambut dengan tatapan tidak bersahabat. Sepertinya masih ada dendam yang tersisa dan mereka yakini kalau Angkasa masih belum tobat.

“Puas lihat gua begini?” sarkas pria baju kaus oranye.

“Jangan sok tahu,” jawab Gerhana.
Angkasa tertawa hambar. “Bohong! Bilang saja kalau lu emang puas lihat gua begini. Bilang kalau lu akhirnya bisa menangkap gua.”

“Nuduh terus.” Graha membalas ucapan Angkasa.

“Fakta. Kalian pulang sana. Gua malas lihat muka kalian.”

Gerhana mendorong bungkusan merah di meja. “Buat lu. Siapa tahu lapar di sini.”

Angkasa melihat sinis bungkusan itu. Hati yang gelap dipenuhi dendam mengira kalau itu sebuah ejekan. Lantas laki-laki itu mengambil plastik merah dan membanting ke lantai. “Gua enggak butuh itu! Gua tahu lu mau meledek gua karena di sini enggak ada makanan enak ‘kan?!” Laki-laki itu meludah ke samping.

Gerhana yang sedikit emosian menjadi tersinggung. Ia langsung maju dan menarik kerah kaus Angkasa. “LU KALAU NGOMONG DIPIKIR. GUA MASIH BAIK KE SINI BUAT LIHAT LU SAMA MASIH BAIK MAU MEMBERI HADIAH.”

Graha langsung menarik badan besar itu untuk menjauh. “Sudah. Nanti lu kena masalah,” bisik cowok itu.

Telunjuk besar Gerhana terus menunjuk ke Angkasa. “Harusnya lu itu minta maaf! Bukan malah enggak jelas kayak begini! Seharusnya lu bersyukur kalau korban yang lu bunuh berasal dari keluarga baik-baik. Coba lu pikir kalau misal yang bacok bukan adek gua. Bisa mampus lu dituntut lebih lama! Bahkan disuruh ganti rugi miliaran rupiah.” Urat leher kelihatan karena emosi yang meradang.

“Sudah, Ger. Kita pulang saja. Capek kalau terus ngomong sama orang gila.”

Suara bantingan meja menggema di ruangan ini. “BILANG APA LU BARUSAN.” Mata Angkasa seperti mau keluar saking besar melototnya.

“Orang gila,” jawab Graha tengil. “Kan lu udah sinting. Marah-marah terus tanpa berpikir positif.” Graha membimbing tubuh Gerhana agar jalan duluan dan tidak marah-marah lagi.

Setelah Gerhana agak jauh baru Graha akan menyusul. “Gua balik dulu ah ke istana. Tidur di kasur empuk. Unch ... mantap. Bye Angaksa. Selamat mendekam lama di sini sama tikus-tikus.” Graha melambaikan tangan dan melayangkan kiss bye.

Angkasa menggeram karena diejek begitu. “AWAS KALIAN. KALAU GUA BEBAS GUA BAKAL BALAS KALIAN.”

“BALAS SAJA KALAU LU ENGGAK DIPUTUSKAN BUAT DIHUKUM MATI YA,” teriak Graha saat jaraknya sudah jauh. Anak kembar itu tergelak terlalu senang bisa membalas perbuatan Angkasa.

Bersambung ....

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang