19

49 5 0
                                    

Jakarta malam ini turun hujan sangat deras. Air hujan sampai masuk sedikit ke dalam rumah. Angin turut serta masuk ke dalam membuat suasana menjadi dingin. Di meja 3 manusia sedang menikmati ayam kecap buatan sang Ibu Negara.

Mereka makan dengan khidmat tanpa ada suara. Suara boleh keluar jikalau sudah selesai makan. Orang pertama kali selesai adalah Pak Aditama, lalu disusul oleh Crystal dan Mamanya. Mereka tidak beranjak, tapi duduk untuk mengobrol.

Obrolan malam ini sangat menyenangkan hingga membuat Crystal sumringah. Gadis itu membawa piring kotor dan menaruhnya di wastafel. Pelan-pelan sabun cuci piring dituang ke dalam wadah kecil kemudian Crystal meremas spons supaya keluar busa.

“Mama capek deh, Pa sama Crystal,” ucapan Mama terdengar sampai tempat cuci piring.

Masih fokus dengan koran. “Capek bagaimana?” tanya Papa.

“Ya begitu. Crystal kerjaannya main melulu. Enggak pernah pulang sekolah bantu Mamanya beres-beres. Dia udah mau kuliah tetap saja begitu. Kayak makan tadi saja harus disiapkan.” Begitu mendengar omelan sang Mama, hati Crystal berdenyut. Pekerjaan mencuci piring sedikit lambat dia selesaikan. Ia masih ingin mendengar kelanjutan obrolan Mama dan Papa.

Rambut diselipkan ke belakang telinga supaya bisa leluasa mendengar gosip tentang dirinya. Tangan kiri yang tidak memegang apa-apa mendadak bergetar karena mendengar kalimat-kalimat pedas yang keluar dari mulur Mama.

“Kita itu buang-buang uang tahu, Pa, menyekolahkan anak di sekolah internasional. Crystal tidak ada perubahan. Nilainya sama saja kayak dulu dan kemampuan bahasa Inggris juga masih enggak banyak. Belum lagi attitude dia yang sangat amat melenceng dari didikan sekolah bergengsi. Seharusnya dia lebih sering membantu orang tua, belajar tekun, dan mencontoh tata krama yang diajarkan.”

Deg

Hati kecil Crystal menangis. Tidak disangka ternyata dia adalah the real beban buat keluarga. Seharusnya Crystal tidak menurut saat Ibunya mendaftarkan ke sekolah bergengsi. Seharusnya dahulu dia meminta untuk sekolah di Negeri supaya gratis. Kalau sudah begini rasanya sangat gagal menjadi seorang anak. Sudah bodoh, buang-buang uang lagi!

“Andai saja anak kita itu kayak si Nuri yang masih SMP sudah rajin. Mana dia selalu bawa piala setiap kali lomba. Ibunya pasti bangga punya anak kayak dia.”

Cucian piring secepatnya diselesaikan. Piring warna putih dibilas dan ditaruh pada rak. Sebelum pergi, tempat mencuci piring dibersihkan. Setelah bersih baru Crystal pergi ke kamar.
Gadis baju merah membanting tubuh ke kasur. Selimut ia bentangkan untuk menutupi tubuh. Kata-kata pedas itu muncul dalam benak. Tanpa terasa lelehan bening dari dalam mata mengalir membasahi pipi. Kedua tangan Crystal menutup kedua telinga supaya dia tidak ingat itu semua.

“Aku gagal! Aku enggak berguna!” Satu persatu bantal ia banting ke lantai. Tangisnya semakin pecah saat kalimat ‘buang-buang uang’ muncul.

“KENAPA MAMA SAMA PAPA TIDAK BILANG DARI AWAL KALAU MEREKA MENARUH EKSPEKTASI SAMA AKU. KENAPA?”

“KALAU MEREKA BILANG DARI AWAL, AKU AKAN USAHAKAN. MEREKA YANG TIBA-TIBA MENDAFTARKAN AKU KE SANA, MEREKA JUGA YANG KESAL.”

Selimut yang tadi menutupi tubuh terlempar sampai dekat pintu. Crystal duduk sambil bersandarkan pada papan kepala ranjang. Kedua kaki gadis itu lurus dan dientak-entak pada kasur. Jangan lupa kedua tangan yang menjambak pelan rambut hitam lurus. Puas menjambak, tangan Crystal mengepal dan berada di dahi.
“Maafin aku, Ma, Pa. Aku gagal.”

☆☆☆

Selasa yang indah. Guru rapat, murid istirahat. Hari ini Gerhana dan Graha mengenakan pakaian serba hitam. Kembar nakal itu sudah siap menggunakan kacamata hitam dan sudah berada di atas motor biru kesayangan. Kali ini yang membawa motor adalah Graha. Laki-laki itu trauma jika Gerhana yang membawanya. Teringat bayang-bayang saat dirinya hampir jatuh di depan gerbang akibat ulah kembarannya.

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang