24

45 6 1
                                    

Langit sudah mulai gelap. Hamparan berwarna oranye sudah mulai terlihat. Perlahan matahari mulai sembunyi di ufuk barat. Digantikan dengan kemunculan perlahan sang dewi malam. Burung-burung mulai terbang untuk kembali ke tempat mereka. Hari perlahan sunyi dan tenang.

Seorang pria tengah memakai sarung pelan-pelan. Tak lupa memakai peci hitam supaya terlihat lebih tampan. Cowok itu mengambil parfum yang ada di laci dan menyemprotkan pada titik-titik tertentu. Harum maskulin mulai menyeruak di ruangan serba biru ini.

Laki-laki itu berjalan menuju ranjang. Satu tangan sibuk memukul ringan pipi manusia yang masih berkelana di alam mimpi. “Bangun. Sudah magrib. Kagak salat lu.” Graha mengabaikan tepukan itu dan dia membalik tubuh membelakangi Gerhana. Dia masih nyaman berpelukan dengan guling.

Geram karena kakak kembarnya enggak bangun. Akhirnya ada ide yang terlintas. Gerhana mengambil gawai miliknya yang ada di atas nakas. Senyuman nakal mulai tercetak pada bibir merah muda yang sedikit hitam akibat sering merokok. Setelah selesai dengan aksinya, cowok itu lantas menaruh gawai di atas telinga Graha.

Gerhana melipat kedua tangan sambil menunggu sesuatu. “Tiga ... dua ... satu ....”

Dwar ... dwar ... dwar

Suara alarm sengaja diganti menjadi bom meledak agar manusia kebo itu bangun. Terbukti sekarang Graha mulai bangkit dan berjalan sempoyongan menuju toilet. Gerhana tertawa kencang saat kepala Graha terbentur pintu dan semakin mengagetkan pria berkaus biru.

“Makannya kalau magrib jangan tidur. Buruan lu mandinya. Gua tunggu di bawah.”

☆☆☆

Lantai atas adalah tempat ternyaman bagi anak yang malas dengan keramaian. Selain sering dapat angin sepoi-sepoi, tempat ini sangat sepi dan jarang banyak yang tahu. Crystal sedang berdiri di tepi balkon sambil mengamati gedung-gedung menjulang berlapis kaca yang ada di depan SMA 1 Jaya Bangsa. Surai hitamnya bergoyang ke kanan ke kiri mengikuti irama angin.

“Tal, hubungan lu sama si Gerhana apa sih sebenarnya?” Tari menurunkan kaki kanannya.

Kegiatan mengamati benda warna putih yang melayang di atas kepala menjadi terhambat. Segera Crystal menghadap keempat kawannya. “Nothing. We just friend.” Kembali gadis itu menatap awan yang menghiasi langit biru.

Ara bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Crystal. “Hanya teman? Gua enggak yakin. Kalau dilihat-lihat kalian itu kayak lebih dari sekadar teman. Gerhana itu kayak mau jadiin lu pacar. Dia itu suka sama lu, Tal,” ujar wanita bando kuning.

“Kenyataannya memang begitu. Lagian juga gua enggak ngarep juga kalau gua dan RP jadi pasangan. Lu tahu ‘kan’ kalau gua sudah tidak percaya kata ‘suka’ lagi. Semenjak kejadian Reyhan yang bikin gua benci sama kata ‘suka’ yang tanpa adanya bukti.”

“Tal, menurut gua juga nih kayaknya lu mulai naksir ya sama cowok berbadan kekar yang mukanya seram seantero SMASA,” goda Rania. Gadis itu tengah duduk di sofa merah yang tak jauh dari tempat Crystal dan Ara berdiri.

Crystal berjalan dengan kedua tangan dilipat di dada. Ia akan duduk di sofa yang masih kosong tepat di seberang Rania. “Lu ngomong sembarangan banget sih, Ran. Gua itu enggak suka ya sama dia. Lagian gua sama dia beda level. Dia ke sekolah naik motor ninja atau mobil BMW. Lah gua cuman naik Vario hitam.”

Rania memajukan bibir bagian bawah tanda mencibir. “Halah. Enggak usah mengelak ya, Tal. Gua tahu lu dari kemarin heboh di grup Broken Flower sambil uring-uringan tidak jelas nanyain kenapa si RP cuek,” ledek Rania.

Semburat merah mulai terlihat tipis-tipis pada wajah Crystal. Sungguh, seharusnya semalam tidak usah melakukan hal itu. Namun, dia sudah kepalang karena panik tiba-tiba. Ia hanya meluapkan rasa tidak nyaman dengan situasi ini.

Tawa dan canda seorang Gerhana sedang redup. Hanya wajah asam dan jutek yang selalu ditunjukkan. Bahkan jika bertemu di koridor, Gerhana akan memilih balik badan dan cari jalan lain.

“Kata gua mending lu renungin deh perasaan lu itu kayak bagaimana.” Ara menasihati.

Kepala Crystal menunduk–menatap tautan jari di atas lutut. “Gua itu masih cinta sama Reyhan, tapi gua juga mulai nyaman sama Gerhana.” Kata-kata penuh kejujuran akhirnya terlontar tanpa disadari.

“Mulai nyaman? Nah, berarti emang lu suka sama Gerhana.” Dengan gemas Rania menjentikkan jari. Minuman gelas plastik diambil dan disedot.

“Apaan dah. Gua udah bilang, kalau gua enggak suka sama Gerhana. Hanya sebatas sahabat dan teman dekat udah gitu doang. Kalau dibilang cinta atau suka belum. Lu pada aneh-aneh deh.” Oke Crystal mulai merajuk.

“Iya deh. Sesuka lu dah. Agak batu lu,” kesal cewek yang memakai jaket hitam kulit. Wanita itu melepas bando kuning dan menggantikan dengan ikat rambut warna hitam. Ara mengencangkan ikatan pada rambut dan membelai rambut ekor kuda.

Crystal melirik arloji warna merah. “Sudah mau bel. Kalian enggak ke kelas?” tanyanya.

Rania menghabiskan sisa es batu dan mengunyahnya. “Hayu,” ucap gadis rambut hitam keriting bagian bawah setelah selesai menelan es batu. Lima gadis itu segera kembali ke kelas mereka yang ada di bagian utara, kelas 12 IPA 2.

Bersambung ....

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang