11

61 7 0
                                    

Wanita jaket merah bertopang dagu melihat awan kian menggelap. Crystal menghela napas berat. Hatinya mulai gelisah karena feeling mengatakan awan akan menangis. Baru sadar jika hari ini tidak membawa jas hujan. Ini nih yang membuat hati kesal karena pelupa.

Riuh sorakan dari koridor membuat kedua mata cokelat tua menyipit karena tarikan dari bibir. Tidak mau keburu hujan, Crystal mempercepat beres-beres. Tas hitam besar digendong dan dia keluar bersama 4 sahabatnya.

Bye.” Kedua tangan Crystal melambai dan gadis itu berjalan santai ke tempat parkir.

“Hati-hati, Crystal!” Perempuan tinggi 155 cm membuat corong dengan kedua tangan. Tidak ada balasan apa-apa karena memang tidak dengar.

Motor hitam keluar dari gerbang. Angin sore menyapu poni rambut perempuan dicepol. Crystal tidak pernah suka memakai helm saat berkendara. Rasanya berat dan kepala mau copot. Alasan selanjutnya adalah karena tidak ada polisi yang berjaga meski jarak dari rumah ke SMA 1 Jaya Bangsa cukup jauh. Padahal mau jauh atau dekat memakai helm ini wajib. Tidak ada yang tahu musibah yang terjadi di depan. Kalau jatuh dari motor dan tidak pakai helm maka kepala akan bocor. Itu seram sekali.

Kilatan cahaya di langit membuat hawa takut meningkat. Pikiran negatif bermunculan. Rasa panik dalam diri Crystal semakin bergejolak. Belum lagi suara gemuruh geluduk yang membuat jantung gadis jaket merah semakin berdetak kencang.

“Plis jangan hujan dulu, dong,” lirih gadis itu disela kepanikan. Kepalanya mendadak pening saat kecemasan semakin menjadi ditambah tetesan air mulai jatuh.

“Aduh, hujannya nanti dulu kenapa. Tunggu gua sampai rumah.” Secepat mungkin motor matic digas. Pandangan Crystal mulai mengabur akibat banyak tetes air yang turun. Mata yang masih bisa melek memaksakan diri untuk berkendara.

Lama kelamaan Crystal tidak kuat. Hujan terus mengguyur menjadikan tubuh mungil berbalut jaket basah semua. Di depan ada halte bus. Segera motor ditepikan di sana. Crystal turun dari motor dan duduk di kursi halte sembari memeluk diri sendiri.

Gigi gemertak menahan suhu rendah ini. Dingin ini sangat menusuk tulang. Crystal mengomel karena jaket sudah tidak berguna. Hanya menggosok-gosok telapak tangan yang bisa menghangatkan tangan. Itu pun tidak maksimal.

Tiba-tiba punggung terasa tidak dingin. Sontak gadis rambut berantakan menoleh ke belakang. “RP? Ngapain lu?” Crystal menggoyangkan bahu supaya jaket denim lepas. Namun, cowok rambut disisir ke samping menahan.

“Neduh. Hujan deras sekali.”

Crystal hanya mengangguk. Dia mengamati hujan dengan pikiran melayang ke masa lalu. Terbayang saat dia masih kelas 5 SD, dia pulang sekolah bersama Reyhan. Hujan deras begini Reyhan langsung sigap melepas tas dan menaruh di atas kepala Crystal. Membiarkan tubuhnya basah dan melindungi gadis kecil dikucir dua.

Gerhana mengernyit melihat hal aneh orang di samping kiri. “Lu kenapa senyam-senyum?” tegur cowok kalung G. “Mikir jorok ya pasti.” Tanpa bukti seenaknya main tuduh.

“Enak saja! Gua masih polos ya,” ucap Crystal menyolot.

“Pret! Kalau polos coba dong lihat arsip Wattpad-nya?” Gerhana mulai meledek.

“Ogah,” tolak perempuan yang sedang mengecek buku jutek.

Laki-laki yang memakai kaus putih terkekeh. “Nolak berarti benar, kan kata gua.” Refleks Gerhana memeluk diri karena angin semakin kencang dan membelai kulit. Satu tangan Gerhana menggosok rambut dan gantian mengusap lengan.

Melihat gerak-gerik gelisah cowok beda jurusan–Crystal melepas jaket–menaruh di depan dada cowok yang sedang menoleh ke samping. Gerhana menggerakkan kepala cepat. Jaket denim miliknya dilepas dan dipasangkan lagi ke punggung Crystal. Gerhana merapikan jaket supaya gadis rambut sebahu hangat.

“Kenapa dikasih gua lagi, Gerhana?” geram Crystal.

“Bawel lu. Pakai saja. Awas dilepas lagi.”

Crystal berdecak sebal. “Lu itu kedinginan makannya gua kasih ini jaket. Daripada lu sakit gara-gara ini mending gua balikin,” omel Aletha.

Gerhana bangkit dari duduknya. Dia tiba-tiba melepas kaus dan mengangkat kedua tangan sehingga otot kekarnya membentuk. “Gua strong nih. Enggak bakal sakit.” Bangga sekali cowok yang bertelanjang dada.

Kedua telapak tangan tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil masih setia menutup mata. “Pakai baju lo ogeb. Aurora lu kelihatan sama gua.” Lelaki itu tidak mengindahkan perintah Crystal. Malah dengan sengaja Gerhana menarik kedua tangan Crystal. Iseng tangan itu dimajukan ke perut kotak-kotak. Tanpa sadar gadis itu malah mengelus.

“Astagfirullah. Itu apaan yang gua pegang?” Suara cempreng sangat lucu terdengar ketika kaget.

Mulut lelaki itu terbuka lebar. Tawa renyah keluar. “Roti sobek yang lu pegang.” Gerhana berucap demikian. Kaus putih sudah kembali terpasang.

“Aaa tangan gua sudah tidak suci lagi,” pekik wanita itu heboh. Ingat mata dia masih terpejam. Jaga-jaga takut dia khilaf melihat keindahan dalam tubuh pria tengil itu.

Gerhana menyampirkan anak rambut yang menutupi wajah Crystal. Seketika dada bergemuruh saat melihat wajah cantik ini lebih dekat. Pipi lelaki itu bersemu saat tak sengaja makhluk di depannya tersenyum. Lu cantik juga ya, Tal. Lu cantiknya beda sama yang lain.

Lelaki itu segera mengerjap. Dia menjauhi wajah itu. “Woi, mau sampai kapan merem? Mau sampai lebaran monyet?” tanyanya dibarengi candaan.

“Lu sudah pakai baju belom?”

“Dah.”

Satu mata dibuka dan mengintip. Benar ternyata lelaki itu sudah memakai baju. Sekarang cowok itu sedang minum. Kepalanya terangkat membuat lehernya kelihatan. Jakun pria itu naik turun karena aliran air di tenggorokan. Crystal menelan saliva. Tidak bisakah Gerhana tidak seseksi itu?

Hujan pun reda. Mendung diganti cerah. Hari ini ada benda melengkung tersusun warna-warna indah. Tepat sekali benda itu sejajar dengan pandangan dua remaja.

“Lu lihat pelangi itu!”

Crystal melihat dan mengangguk.

“Indah bukan?”

“Iya.”

Gerhana tersenyum simpul. “Pelangi itu sangat indah, tapi sayangnya keindahan itu tidak bersifat lama. Hanya sebentar dan sulit ditemui. Dari pelangi kita bisa belajar kalau semua hal yang indah bisa jadi hanya sementara. Bisa hilang kapan pun di mana pun. Keindahan itu bisa berupa cinta atau persahabatan. Kita jangan terlalu terlena dengan keindahan bersifat tidak kekal dan jangan pernah menyimpulkan kalau orang yang baik akan selamanya baik.”

Crystal terkekeh. “Sok puitis lu. Mana enggak nyambung lagi.”

“Haha. Sambungin dong.”

“Dih,” ujar Crystal.

Gerhana berdiri. “Mau pulang enggak? Sudah mau magrib. Gua antar ya?” tawarnya.

Satu jari mengarah ke motor hitam yang sudah mandi. “Enggak perlu. Gua bisa pulang sendiri.” Crystal naik dan memasukkan kunci.

“Gua kawal ya?”

“Dikira gua bocah kali ya.” Jaket denim biru dilempar kepada sang empunya.

Sigap dan tangkas lelaki langsung menangkap. “Kenapa dibalikin? Pakai saja dulu,” ucap Gerhana.

“Gua bakal digaplok Mak sama Bapak kalau pakai jaket cowok. Parfum gua pas jalan sama cowok gua yang menempel di baju saja bikin ketar-ketir apalagi gua pakai jaket lu yang banyak stiker tidak jelas.”

Lelaki itu terkekeh. “Ya udah deh kalau itu mau lu. Lagian gua juga takut sama bokap lu.” Jaket denim dipasang dan dikancingkan.

“Takut kenapa?” tanya Crystal seraya menstater motor.

“Galak banget. Sudah kayak ospek dia kalau sama gua,” adunya.

Seulas senyum manis terlihat dari wajah perempuan memiliki wajah kemerahan. Ia tahu maksud dari sang Papa yang begitu ketus ketika ada teman lelakinya. Mendengar hal itu hati Crystal senang.

“Papa begitu karena sayang. Sudah gua mau balik. Mau magrib. Bye, Gerhana.” Motor itu melesat cepat. Gerhana hanya geleng-geleng dan kembali ke motor. Diam-diam dia masih mengamati motor hitam yang belum jauh.

Bersambung ....

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang