43

42 7 0
                                    

Mengagumkan sekali ruang tamu milik keluarga Rajendra. Luas, warna dinding dan furnitur senada, dan lantai yang digunakan terbuat dari marmer. Ada sebuah foto berukuran besar yang terpajang di dinding belakang sofa. Foto keluarga Pradipta yang memakai setelah serba hitam. Ada satu yang menarik perhatian adalah foto seorang pria yang tingginya sejajar telinga si Kembar. Wajah pria itu seperti pernah lihat saat di sekolah.

“Ganteng ya gua.” Crystal tersentak saat tahu-tahu mendengar suara di belakangnya.

Gadis itu berbalik dan mencubit gemas perut Gerhana. “Ngagetin tahu!” sungutnya.

Atensi Crystal kembali ke foto itu. Masih penasaran sama foto itu. “Ar, itu siapa?” Foto cowok rambut rapi bergaya angkuh yang memakai jas hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu hitam itu ditunjuk.

“Itu adek aku. Namanya Gavin.” Laki-laki tinggi duduk di sofa. Tatapannya lurus ke depan seakan mengingat sesuatu. Crystal mengikuti Gerhana dan duduk manis di sofa samping Gerhana.

Gerhana mengganti arah pandang ke gadisnya. “Dia Gavin Rajendra Pradipta. Anak kelas sepuluh yang beberapa bulan lalu meninggal. Gavin adalah adek kesayangan gua sama Graha. Gavin anak terkenal di SMASA. Di sekolah kami sengaja bertingkah seakan tidak kenal. Sengaja karena takut SMA dua mengincar Gavin karena dia adek gua.” Cowok itu menghirup udara dalam-dalam.

“Sudah susah payah aku sama Graha menyembunyikan identitas Gavin, tapi ketahuan. Angkasa alias ketua pentolan SMA dua yang tahu. Dia yang tahu Gavin anak SMASA dan juga keluarga aku, membuat Angkasa mencari keributan. Asal kamu tahu kalau SMASA dan SMADA tidak pernah akur. Makannya Angkasa yang dendam sama aku karena memang aku ketua pentolan. Terus juga itu ribut sudah dari zaman kakak kelas. Suatu hari kita tawuran-”

Tak sadar kalau air mata sudah meleleh ke pipi. Mengingat Gavin seakan mengingat luka di masa lalu. Apalagi peristiwa tragis itu kembali berputar di kepala. Tubuh Gavin yang bonyok penuh darah juga turut terbayang. Gerhana mengelap air mata kasar.

Crystal mengusap bahu Gerhana untuk menyalurkan kekuatan. “Enggak usah dilanjut kalau enggak kuat,” ujar gadis itu. Gerhana mengangguk patuh. Cowok itu mengusap wajah.

Satu telapak tangan besar itu ditaruh pada punggung tangan kecil di atas paha yang terbalut celana bahan cokelat susu. “Maaf ya malah jadi sedih.”

“Enggak apa-apa. Aku turut berduka ya atas meninggalnya adik kamu.” Hanya anggukan pelan yang mewakili jawaban.

“Siapa ini? Cantik banget,” seru Suci yang baru masuk. Tangan wanita itu penuh tas kertas. Gerhana tahu kalau Mama tercintanya habis belanja lagi. Dia tidak marah kalau Mama belanja sebanyak ini. Toh, Suci juga belanja bukan untuk dirinya saja. Wanita itu pasti akan membagikan baju branded kepada orang yang membutuhkan.

Gerhana berdecak malas saat tahu-tahu Mamanya ikut bergabung. “Mama sana. Aku mau belajar sama Crystal.”

“Nama kamu cantik banget. Sama kayak orangnya.” Dagu Crystal dijawil gemas.

Gadis memakai blouse senada dengan celana tersenyum hangat. “Terima kasih, Tante,” jawabnya ramah.

“Enggak usah panggil Tante. Panggil saja Mama.” Wanita itu menurunkan sedikit dress yang tersingkap. “Kamu tahu enggak, Tal. Mama itu dulu pengin punya anak cewek terus kasih nama Crystal. Sudah dicocokin tuh sama nama Pradipta. Pas sudah ketemu malah munculnya cowok,” ungkap Suci.

“Enggak apa-apa, Tante. Munculnya malah enak dua jagoan. Bisa melindungi, Tante. Apalagi dua jagoan Tante baik banget. Mereka juga kalau di sekolah banyak fans.” Sebisa mungkin Crystal bersikap hangat meski ia setengah gugup.

Gerhana Untuk Crystal (Udah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang