06| Ngueng-ngueng

3K 117 2
                                    

“Jangan marah sama saya, Ra,” ujar Lucas yang membuat Addara menoleh dengan wajah datar pada Lucas yang sedang menyetir.

“Siapa yang saya marahin kalau bukan Bapak?” tanya Addara dengan nada sarkasnya. “Saya harus marahin diri saya sendiri karena Bapak ngeliat saya di tempat tadi?”

“Ya ga gitu juga,” Lucas menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Kamu gak usah marahin siapa-siapa. Gak ada yang salah juga, kan?”

Addara membulatkan mulutnya. “Dengan Bapak datang tiba-tiba, bilang kalau Bapak udah ada janji jemput saya padahal gak sama sekali, lalu narik saya gitu aja, apa itu bisa dibenarkan, Pak?”

Lucas terdiam.

“Bapak masih paham kata sopan, kan? Apa bapak gak ngerasa salah dibeberapa poin yang saya sebut tadi?”

Lucas memberhentikan mobilnya di tepi jalan yang terlihat sepi. “Maaf. Tapi saya gak suka liat kamu sama orang lain,”

Lagi-lagi Addara membulatkan mulutnya. “Bapak atasan saya. Ga ada hubungannya sama sekali sama kehidupan saya di luar dari itu,” kata Addara dengan tegas. “Apa perlu saya ulangi?”

“Ini di luar kantor. Saya bukan atasan kamu sekarang,”

“Tepat,” Addara mengangguk. “Dengan itu, artinya kita gak kenal. Saya kenal bapak di kantor dan sebagai atasan. Selebihnya gak ada hubungan sama sekali,”

“Kita mantan, Ra. Kita pernah kenal diluar itu semua,”

“Dengan bapak bahas kita sebagai mantan, bukannya hubungan kita udah berakhir beberapa tahun lalu? Bukan saya juga yang bilang berenti. Dan bapak dengan seenaknya ganggu kehidupan saya dengan datang tiba-tiba seolah kita masih punya hubungan,” Addara menekan beberapa katanya. “Bukannya itu sedikit berlebihan?”

“Saya nyesel pernah bi—”

“Itu udah beberapa tahun lalu. Udah gak perlu dipermasalahin lagi karena itu emang bukan masalah besar seharusnya,” Addara memutus perkataan Lucas. “Sekarang, tolong anter saya pulang karena bapak udah narik saya yang mau dapet tebengan pulang tadi,”

“Ma—”

“Tolong,”

✿✿✿

Addara sudah tiba di rumahnya dengan perasaan masih kesal. Bukan maksud Addara sangat ingin pulang bersama Arkan. Bukan sama sekali. Addara kesal karena Lucas selalu bertindak semaunya. Dan selalu mengganggu ketenangannya sejak mereka sama-sama tahu bahwa mereka satu lingkungan.

Addara sudah berganti pakaian dengan pakaian rumahan—cenderung seperti baju tidur. Ia tidak ada kegiatan setelah ini. Jadi sekarang ia sudah bisa merebahkan tubuhnya yang sedikit lelah karena berjalan-jalan di pusat perbelanjaan. Ia juga sudah memasukkan pakaian-pakaian yang baru ia beli ke mesin cuci.

Di rumah Addara tidak ada televisi. Ia menjualnya setelah Ayah meninggal. Bukan apa, sayang rasanya jika benda itu masih disimpan tapi sama sekali tidak digunakan karena Addara memang lebih sering menghibur diri dengan menonton di ponsel atau laptopnya.

Jika kalian berpikir bahwa keluarga Addara adalah keluarga kelas bawah, sedikitnya pemikiran itu salah. Ayah Addara adalah pensiunan PNS yang sampai saat ini masih mendapat gaji yang jatuh pada Addara. Kasarnya, masalah keuangan, dari dulu Addara memang tidak merasa kekurangan walaupun tidak begitu berlebih. Cukup.

Saat kuliah, Addara mengambil beberapa pekerjaan seperti pernah menjadi assisten dosen, bekerja di toko bunga, dan menjadi ‘guru pribadi’ bagi salah satu anak dosennya—saat itu Addara juga bingung kenapa ia mendapatkannya, sang dosen tiba-tiba memintanya begitu saja.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang