30| Marah

2.3K 98 4
                                    

Sejak Lucas memberitahu bahwa kegatiatan mereka selama di Bali tidak dimulai di pagi hari, Addara merasa senang. Bukan apa, ia tipikal orang yang gampang merasa lelah jika bukan di rumah. Terlebih lagi, mengekori Lucas kemanapun pria itu pergi, cukup membuat tenaganya terkuras.

Pagi ini Addara sedang menikmati waktunya dalam kesejukan yang diberikan oleh vila milik keluarga sang bos. Halaman belakang menjadi pilihannya. Mini pool lebih tepatnya.

Kedua kaki Addara masuk ke kolam sebatas betis. Dengan piama panjang yang digulung sebatas lutut, hoddie super kebesaran yang menenggelamkan tubuhnya, Addara mengayun-ayunkan kakinya membawa percikan air sedikit ke udara.

Sudah bukan rahasia jika Addara tipe serba salah. Saat ini, kaki wanita itu membutuhkan sesuatu yang segar dan memutuskan untuk mencelupkannya ke air kolam yang terbilang dingin. Sedikit naik ke atas, badannya merasa kedinginan dan perlu baju hangat tambahan untuk itu. Addara yakin bukan dirinya saja yang mengalami ini.

Jiwa Addara terasa melayang terbawa angin yang menggerakan dedaunan dari pohon hidup di sekeliling halaman belakang. Suasana dan atmosfir di sini baru Addara sadari sangat menenangkan. Tentu saja. Pagi hingga siang kemarin Addara habiskan di kamar dan siang hingga malamnya ia habiskan untuk menemani Lucas.

Sudut bibir Addara terangkat mengingat besok adalah hari lahirnya. Ah Addara bukan tipe orang yang suka merayakan sesuatu, apalagi hari lahir. Sejak kecil hingga 23 tahun ini, ia bahkan tidak pernah mempunyai pesta ulang tahun kecuali makan bersama dengan sang ayah.

Itu ingatan manis. Mengingat ini tahun ke-3 ia lalui dengan sendirian.

Tidak ada teman datang ke rumah, atau sekedar sanak keluarga berkunjung membawakan kado kecil berisi mainan. Ia tidak melewati masa itu. Ia hanya mendapatkan sepotong kue coklat yang ayahnya belikan selepas pulang kerja dengan sejumput doa yang perlahan mulai bisa ia rasakan. Juga beberapa harapan sayang ayah yang selalu ia usahakan.

Addara tidak punya teman dekat, ia tidak punya saudara seusianya, dan lagi, Addara tidak memiliki seorang ibu. Bisa dipastikan hubungan Addara dengan ayahnya sudah lebih dari hubungan ayah dan anak itu sendiri.

Keluhan semasa kuliah, tentang temannya yang sama sekali tidak bisa diajak kerja sama ketika tugas berkelompok, curhat mengenai laki-laki, mengenai Lucas yang menyatakan perasaannya, Lucas yang tiba-tiba memutuskannya, KKN dan internship yang berjalan menyenangkan, pusingnya berkutat dengan skripsi, sibuknya mempersiapkan seminar proposal, dan terakhir tentang keputusan hari wisudanya.

Ayah tau semua tentang Addara. Itu hal menyenangkan.

Sejak ayah pulang, tidak ada rumah untuk bercerita bagi Addara. Di hari wisudanya, ia hanya habiskan untuk menerima ucapan selamat atas kelulusan dan mendapat predikat cumlaude tanpa ekspresi senang. Bagaimana bisa ia menaruh senyum saat sumber kebahagiannya hilang dan tak akan pernah kembali?

Tapi Addara bukan orang yang senang dan larut dalam satu situasi. Meskipun masih menyesakkan jika diingat, ia perlu mengangkat kepalanya agar ia bisa melihat dunia lebih jelas. Tentu saja.

Kecipak air terdengar lebih kencang dari arah samping Addara. Lucas duduk tepat di sebelahnya yang bahkan ia tidak tahu kapan pria itu datang.

“Enak ya ngelamun pagi-pagi,”

“Ada yang perlu saya siapkan, pak?” tanya Addara. Ia mengeluarkan kakinya dari kolam. Mengelapnya dengan handuk kecil yang semula ia taruh di pangkuan dan menurunkan celana piamanya ke posisi seharusnya setelah kering. Ia merubah duduk mengarah pada Lucas.

Lucas memperhatikan Addara dengan kegiatannya. “Udahan?” tanyanya menyangkut perendaman kaki. “Masih jam 7. Masih lama kita berangkat,”

“Bapak mau sarapan?” tanya Addara.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang