40| Diana

1.7K 65 8
                                    

Kemarin malam, Addara mendapat satu pesan dari orang yang sedikit tidak biasa untuk mengirimnya pesan. Diana. Pesan itu dari Diana.

Diana meminta waktu satu hari penuh bersama Addara yang entah tujuannya apa. Addara menyetujui itu dan berakhir hari libur ini Addara akan habiskan bersama wanita itu.

Diana datang menjemput Addara tadi. Kini, mereka tiba di tempat yang Diana pilih. Daerah sekitaran rumah lama Addara. Diana memarkirkan mobilnya di salah satu parkiran umum yang tidak jauh dari sebuah sekolah dasar.

“Kamu udah makan?” tanya Diana. Mereka berjalan beriringan menuju salah satu taman di area sekolah dasar. Dari jauh, taman itu terlihat cukup banyak orang mengingat ini hari libur.

“Tadi pagi, tante.” Jawab Addara. “Tante udah?”

Diana mengangguk kecil dengan senyum mirisnya. “Udah cukup lama,” jawabnya. “Tante bawa snack, kita makan sambil ngobrol di sana,” sambungnya dengan menunjuk satu spot teduh terhalang bangunan yang cukup tinggi.

Addara mengangguk. Keduanya kemudian melenggang bersama tanpa percakapan hingga tempat yang Diana maksud.

Diana dan Addara langsung mengambil duduk saat melihat ada kesempatan. Tas yang Diana bawa ternyata terdapat satu buah kotak makan cukup besar dan berisi bolu pandan yang sudah dipotong ukuran suapan. Diana yang membuatnya sendiri.

“Makasih udah terima tawaran tante untuk ketemu hari ini,” ujar Diana disela kunyahannya. “Kamu pasti udah ada rencana sama Lucas sebelumnya,”

Addara menggeleng. “Ngga, tante.” Jawab Addara. “Addara emang lagi gak ada kegiatan apa-apa hari ini.”

Diana mengangguk kecil. Ia menyodorkan kotak jus buah pada Addara untuk minuman mereka. “Kata Arumi, kamu sama Arkan dan Lucas satu kampus dulunya?”

“Betul tante,” jawab Addara. Ia selesai dengan makanannya. Kotak itu sudah kembali kosong karena mereka berdua. “Tapi pak Lucas dua tingkat di atas kita dan dia bos aku sekarang,”

“Dan orang kesayangan,” tambah Diana yang menciptakan kekehan dari keduanya. “Kalian udah lama pacaran?” tanyanya. Posisi keduanya berdampingan duduk lesehan di pinggir sebuah bangunan yang menghadap langsung ke taman dengan suguhan manusia.

“Bisa dibilang lama,” jawab Addara. “Pernah putus juga soalnya,” sambung Addara dan sedikit menceritakan kisahnya dengan Lucas.

“Loh? Dia yang nembak, ajak putus, dan ajak balikan. Agak plin plan juga ternyata anaknya,” komen Diana setengah bercanda. “Tapi dia keliatan sayang banget sama kamu, ya. Sedikit mirip ayah kamu juga kayanya,”

Addara terkekeh. Ia jadi tersadar akan hal itu. Ayahnya dan Lucas sama sama masih menunjukan rasa sayang sekalipun sedang marah. “Ternyata iya.” Kata Addara.

“Tante gak tau kapan ayah kamu meninggal,”

“Udah lama, tante.” Jawab Addara. “Sebelum Addara lulus kuliah,” sambungnya.

Diana mengangguk. Pandangan mereka kompak melihat ke arah keramaian. “Ternyata aneh ya rasanya kita kaya gini,” ujarnya kemudian terkekeh. “Banyak kata andai.”

Addara tersenyum. “Andai cuma andai, tante. Gak bisa ubah apapun.”

Diana melirik Addara sekilas dengan matanya yang entah sejak kapan sudah berkaca-kaca. Ia mengangguk. “Tante pengen liat kamu bahagia aja sekarang. Tante juga gak punya hak untuk jadi sumber kebahagian kamu dan tante juga gak bisa deket kamu untuk liat kamu bahagia.”

“Kenapa gak bisa deket?” tanya Addara. Keduanya berpandangan. “Addara gak pernah larang siapapun untuk deket sama Addara, termasuk tante.”

Diana mengalihkan pandangannya dan berkedip beberapa kali ke atas. “Tante sangat gak punya malu kalau tante masih ada di deket kamu.” Katanya. “Maksimal, kita kaya gini sekali dalam setahun.”

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang