28| Kamu takut?

1.7K 78 5
                                    

Siang ini Addara terlihat tergesa di kamarnya. Ini hari kerja, kenapa Addara bisa di rumahnya siang-siang?

Kejadian tidak terduga datang tadi pagi.

Sesampainya di kantor, Addara disuguhkan dengan Lucas yang menampilkan wajah datarnya. Pria itu terlihat menahan marah, berdiri tepat di depan pintu ruangan Addara.

“Ada masalah, pak?” tanya Addara yang mengerti situasi.

Lucas menghela napasnya. “Kita ke Bali siang ini. Kantor di sana ada masalah, Papa utus saya kesana.” Jawab Lucas.

Addara tentu dibuat kaget dengan itu. Lucas memang mempunyai jadwal untuk mengurus kantor di Bali namun tidak hari ini. Minggu depan jadwalnya.

“Baik, pak.” Addara mengangguk. “Ada lagi?” tanya Addara.

“Saya anter kamu pulang dulu. Kita seminggu di sana, itu juga kalau berjalan lancar. Bisa lebih lama dari itu.”

“Se-seminggu?” tanya Addara tak percaya.

Lucas mengangguk. “Untuk izin kerja bimbel kamu, nanti orang kantor langsung yang bilang. Kamu ga usah khawatir.”

Satu jam lalu Addara tiba di rumahnya. Untuk apa Lucas menyuruh Addara pulang terlebih dulu? Tidak lain untuk memastikan keadaan rumah aman. Bukan untuk masalah pakaian dan sebagainya. Pria itu bahkan bilang cukup membawa barang pribadi yang sulit dicari saja.

Addara sudah duduk di teras rumahnya. Ia menunggu Lucas yang menjemput untuk pergi ke bandara. Rumahnya sudah dipastikan aman sekarang. Sumber api, listrik dan sebagainya sudah dimatikan.

“Sayang, ayo!” satu suara pria dewasa menginterupsi Addara dari ponselnya. Tepat saat mendongakkan kepala, Addara melihat Lucas yang membuka pintu pagar.

Bikin malu aja rutuk Addara dalam hati. Suasana sekitar rumahnya terlihat sepi meski ada beberapa gerobak keliling yang sedang berhenti.

“Kamu ga bawa apa-apa, kan?” tanya Lucas membuat Addara mengerutkan keningnya.

“Bawa ini,” Addara menunjuk koper kecil di samping kursi yang tadi ia duduki. Bawaan Addara hanya handcarry laguage yang sama sekali tidak perlu masuk bagasi pesawat.

“Isinya apa?”

Addara memutar matanya malas. “Ya masa harus saya sebutin.” Kata Addara. “Barang pribadi.”

“Masih bisa beli di sana?” tanya Lucas. Addara terdiam. Itu pertanyaan jebakan. “Jawabannya iya.”

Dengan seenak jidat, Lucas memasukan koper milik Addara ke dalam rumah yang pintunya belum dikunci. Ia kemudian menarik kunci di tangan Addara dan menguncinya.

“Ayo!” Ajak Lucas menggandeng tangan Addara.

Pasrah. Addara benar-benar pasrah. Untuk apa bertanya ini itu menumpahkan kekesalan jika akhirnya Lucas yang menang.
****

Sejak keluar dari pesawat, Addara selalu berada di belakang Lucas. Persis seperti bayangan. Lucas yang memintanya begitu. Lengkap dengan permintaan untuk menggenggam ujung belakang jas Lucas. Biar tidak hilang, katanya.

Selepas keluar dari segala urusan administrasi bandara, Lucas berjalan menuju parkiran. Ia menunggu sejenak dengan ponsel di tangannya.

“Yuk,” Lucas meraih tangan Addara yang menggenggam ujung jasnya. Ah ini entah Addara yang penurut atau wanita itu terkena pelet hingga menjadi penurut.

Lucas membawa Addara mendekati satu mobil hitam. Ia membukakan pintu dan menyuruh Addara untuk masuk terlebih dulu. Ia kemudian menyusul.

“Selamat sore, pak, bu.” Sapa sang driver yang kiranya pria itu berusia 40 tahunan.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang