Addara mendudukkan bokongnya di kursi ruangannya. Setelah melewati beberapa pertanyaan dari beberapa manusia yang ia temui tadi, ia akhirnya bisa bernapas lega.
Kenapa Addara ditanya-tanyai? Jelas karena ia datang bersamaan dengan Lucas. Satu mobil. Padahal menurutnya itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan tapi manusia di kantor ini ternyata penasaran dengan hal sesimpel itu.
"Saya ada jadwal?"
"Astaga!"
Addara mengelus dadanya karena terkejut dengan pertanyaan tanpa aba-aba itu. Bukan apa, ia sedang fokus mengerjakan sesuatu, ia juga tidak sadar kapan pintu ruangannya dibuka.
"Saya bingung, perasaan dulu kamu gak kagetan, Ra," Lucas, pelaku pengkagetan, duduk di sofa kecil ruangan Addara tanpa perintah. "Malah kamu yang sering kagetin saya,"
"Kalau Bapak ketuk pintu dulu, mungkin saya gak kaget," ujar Addara sembari meraih buku catatannya. Ia memusatkan pandangannya pada Lucas dengan buku terbuka. "Sampai makan siang, kosong. Setelah makan siang, ada rapat sama jajaran manajer,"
Lucas mengerutkan keningnya dengan kaki kanan menumpang pada yang kiri. "Kenapa siang? Biasanya pagi,"
Addara memejamkan matanya sejenak. Menutup buku kemudian menatap Lucas. "Pagi kemarin, bapak bilang kalau pertemuan pagi ini diundur jadi setelah makan siang," jelas Addara, halus. "Jadi, kemarin siang, saya udah kabarin jajaran manajer tentang perubahannya,"
"Emang saya bilang itu?"
Addara mengangguk kecil. "Saya salah karena gak rekam, kemarin," katanya dengan sarkas. "Perlu diubah lagi, pak?"
"Per—gak. Gak perlu," Lucas merubah total jawabannya kurang dari 1 detik. "Jalan-jalan yu, Ra!"
Addara melebarkan matanya. Ia memandang Lucas yang sudah berdiri dengan senyum manis di wajah pria tersebut. "Belum 2 jam saya diintrogasi sama warga kantor gara-gara datang bareng Bapak, sekarang Bapak ngajak saya jalan-jalan di jam kantor?” tanya Addara tak percaya. “Saya masih mau hidup tenang sih, Pak,”
Lucas mengerucutkan bibirnya. Ia mendekat pada meja Addara dan bertumpu pada kedua lututnya. Ia menutup laptop di depan Addara, kemudian melipat tangannya di atas laptop wanita itu. Lucas menatap Addara yang terlihat berniat mengomel mengenai fail yang sedang ia kerjakan.
“Tinggal bilang ada kerjaan sama saya. Gak susah,” Kata Lucas dengan nada menggampangkan. “Ayo, Ra!” ajaknnya dengan mengetuk-ngetukkan jarinya pada tangan Addara.
“Kalau gitu, nanti fans Bapak introgasi saya, Bapak yang jawab,”
“Boleh,” Lucas mengangguk. “Nanti saya bilang kalau kamu mantan saya,” sambungnya dengan nada riang sambil berdiri.
Addara mendongak, menatap manusia yang sudah mulai menunjukan sisi menyebalkannya ini. “Sekali bapak bilang gitu, besoknya saya resign,”
Lucas kembali berlutut seperti semula. “Kenapa? Kamu malu jadi mantan saya? Kalau gitu ayo jadian lagi biar gak jadi mantan!”
Addara memundurkan kursinya dengan menarik tangannya yang digenggam Lucas. “Gak ada kata ‘lagi’, Pak,” ujar Addara. “Saya gak suka nonton film dua kali,”
Lucas tertegun. Ia menatap Addara lekat-lekat. Perlahan, bibirnya mengerucut dengan mata mulai berkaca-kaca membuat Addara menghela napasnya. Ia pernah melihat Lucas seperti ini di hari di mana Lucas mengatakan selesai terhadap hubungan mereka.
“Ra, serius?”
“Serius apa?” tanya Addara pura-pura tak mengerti.
“Gak ada kesempatan lagi buat saya untuk bareng kamu lagi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejection(s) [END]
Teen FictionAddara tidak suka membaca buku atau menonton film dua kali. Ia sudah paham jalan cerita dan akhir dari cerita itu nantinya. Menurutnya, itu sama seperti menjalin hubungan yang sama dengan mantan. Tapi, bagaimana jika hubungan yang sebelumnya memang...