24| Saya siapa?

2.3K 94 4
                                    

Sejak pagi, Addara sudah disibukkan dengan repotnya menjamu tamu di ruangan Lucas. Kenapa ia repot? Karena posisinya yang merangkap antara sekretaris dan asisten, pekerjaannya jadi ikut merangkap.

Lucas bilang, ini bukan tamu yang dia undang. Tapi 3 orang ini tamu Wicaksana. Bisa dilihat 2 pria yang seumuran dengan Wicaksana dan 1 wanita yang sepertinya seumuran dengan Lucas, membuat interaksi hangat di ruangan yang luas ini.

Sudah terhitung hampir 2 jam mereka membuat bahasan, dimulai dari menanya kabar, perkembangan perusahaan masing-masing dan tak lupa menyinggung tentang anak masing-masing yang menjadi penerus perusahaan.

Gelak tawa tak jarang terdengar diantara mereka. Menurut penilaian Addara, 2 pria ini adalah teman satu pendidikan dengan Wicaksana dulu, dan yang perempuan adalah putri dari salah satunya yang juga merupakan penerus perusahaan.

Keberadaan Addara di ruangan ini tidak begitu dipentingkan, menurut Addara. Ia hanya menyumbang tawa dan sedikit menjawab mengenai hal yang menyerempet dengan jabatannya. Hanya itu. Tapi Lucas menahannya disini yang entah untuk apa.

Beberapa kali, Lucas meliriknya yang tepat bersampingan saat satu teman Wicaksana menyinggung tentang memperkenalkan anak masing-masing dengan akhiran ‘siapa tahu putra-putri kita ada yang berjodoh.’ Hanya candaan demikian, tapi entah mengapa membuat Lucas terlihat panik.

Setelah menghabiskan beberapa jamuan yang disiapkan, terbitlah ucapan pamit dari para tamu. Bersalaman masih dengan candaan, janji-janji pertemuan yang akan datang dan tentunya ucapan selamat tinggal terucap beberapa detik yang lalu.

Wicaksana yang memang jarang berada di kantor ini, pamit juga pada Addara dan Lucas untuk mengantar tamu-tamunya sekalian pergi ke kantor pusat. Ruangan Lucas menyisakan Addara dan pemiliknya tidak lupa juga bekas-bekas jamuan seperti beberapa wadah snack yang sudah tidak penuh, cup-cup air kemasan dan cangkir berisi teh dan kopi.

“Ra, papa becanda tadi,” ujar Lucas yang sudah kembali ke ruangan selepas berdiri mengantar tamu. “Saya gak mengiyakan juga,”

Addara yang sedang menumpukkan sampah cup air lantas mendongak menatap Lucas. “Apa?” tanyanya tak mengerti.

“Itu yang papa mau saya kenalan, ketemu sama temen anaknya,” jawabnya.

Loh, ya mau kenalan atau ketemuan juga gapapa kalau bapak mau,” balas Addara dengan santai sambil melanjutkan tumpukannya.

Lucas menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan wajah tertekuk. “Kenapa kamu malah bolehin saya?”

Addara melirik Lucas dengan wajah datar. “Saya harus larang bapak? Emang saya siapa?”

“Istri saya dalam beberapa bulan,” jawab Lucas dengan lugas. Ia kemudian bangkit dalam satu hentakan. “Temenin saya, Ra. Saya belum sarapan, belum minum obat juga,”

Tanpa permisi dan aba-aba, Lucas menggenggam tangan Addara dan sedikit menariknya hingga Addara menyejajarkan langkah besar Lucas.

“Lepasin tangan saya. Ini di kantor!” peringat Addara dengan tangan yang mencoba membebaskan diri.

“Gapapa, kantor punya papa ini.” Balas Lucas kelewat santai. “Saya mau makan ayam deket kampus, Ra.” sambungnya mengeratkan genggaman saat masuk lift.
****

“Bu, dua ya. Paha dua-duanya. Minumnya es jeruk,”

“Siap Den,” jawab sang penjual sembari menoleh dari pekerjaannya. “Loh neng Ara! Udah lama gak kesini, neng!” sambungnya melihat wanita di samping Lucas.

Addara yang disapa hanya tersenyum sembari mengangguk.

“Addara, Bu.” Kata Lucas mengingatkan. “Ditunggu di meja ujung ya, Bu.” Sambungnya kemudian menarik Addara untuk memilih meja setelah ibu penjual mengiyakan.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang