11| Nathan

2.2K 105 2
                                    

“Loh udah sampe? Bentar-bentar,” kata Addara pada ponsel di telinganya yang sedang terhubung dengan sebuah panggilan.

Ia kemudian meletakkan ponsel itu di sofa setelah menekan tombol loudspeaker pada layar.

“Santai, Ra, santai,” suara pria terdengar terkekeh setelah menyelesaikan kalimatnya lewat ponsel.

“Ini selesai. Aku matiin, ya.” Kata Addara setelah menyelesaikan tali sepatunya. Ia kemudian keluar dan menutup pintu. “Maaf lama, Ar.” Addara membetulkan tas gendong yang ada di punggungnya.

“Belum ada 5 menit, Ra,” Arkan terkekeh sambil menyodorkan helm pada Addara. “Gua belum sarapan, masih sempet gak kalau makan dulu?”

“Kayanya masih,” jawab Addara setelah helmnya terpasang sempurna. “Tapi yang deket situ aja ya, takutnya kena macet,”

Arkan mengangguk dengan senyum yang terhalang helm full-face nya. “Lontong kari deket situ ada yang mantep,” katanya. “Yok naik!”

Addara patuh. Ia naik pada motor Arkan, sedikit menotpang tubuhnya dengan tangan memegang bahu Arkan. Motornya sedikit lebih tinggi dari biasanya.

Setelah Arkan memastikan Addar nyaman, ia kemudian melajukan motornya dengan kecepatan standar. Situasi jalanan pun tidak sepadat biasanya dan itu berpengaruh pada kualitas udara. Lebih bersih dari biasa.

Beberapa obrolan kecil terjadi. Walaupun Addara kebanyakan menjawab dengan ‘Hah?’ dan berakhir mereka tertawa tapi itulah esensinya berkendara berdua, kan?

20 menit kemudian mereka tiba di depan sebuah gerobak dengan tulisan Lontong Kari di kacanya. Addara turun dan memberikan helm pada Arkan kemudian pria itu menyusulnya.

“Pak 2, ya. Sambelnya di sendoknya aja,” kata Arkan pada sang penjual.

Mereka kemudian memilih kursi berhadapan dibatasi meja khas makanan pinggir jalan.

“Kamu nunggu sampe jam ngajar kamu, ngapain, Ar?” Tanya Addara.

“Baca paling, di perpus,” jawab Arkan.

Addara mengangguk. “Ah aku mau nanya ini dari lama, Ar,” Arkan menaikkan alisnya menunggu Addara melanjutkan pertanyaannya. “Kamu kenal Nathan, ga?”

“Nathan? Salma’s partner?”

Ish bukan!” Addara menepuk meja karena sedikit kesal. “Itu murid bimbel, SMA, aku ga tau persisnya sih,”

“Ohh si Nathan.” Arkan menjentikkan jarinya. “Tau. Kenapa emang?”

“Waktu pertama aku kesin—Makasih, pak,” ucapan Addara terjeda karena makanan mereka yang baru saja diantarkan. “Pertama kesini, di kelasnya Bu Rahayu ada murid yang kenal sama aku. Tapi aku gak tau dia siapa,”

“Oh ya?” Arkan mengaduk sambal di sendoknya menjadi tercampur dengan semua makanan di piring. “Itu anak emang friendly sih. Gua gak ngajar dia aja, gua kenal. Lu pasti pernah kenal, adiknya temen lu atau siapa gitu,” sambungnya kemudian melahap sesuap makanannya.

“Nah itu. Mukanya agak familiar,” Addara menelan sisa kunyahannya. “Tapi namanya ngga. Aku juga bingung, dia manggil aku Dara bukan Addara,”

“Kalau gak salah tuh anak sekolah daerah sini juga,” kata Arkan setelah menyeruput teh hangat yang disediakan. “International highschool yang di depan sana,” sambungnya sambil menunjuk ke suatu arah.

Addara menautkan alisnya, berpikir sambil mengunyah lontong di mulutnya. “I have no idea,” gumam Addara.

“Lu tanya aja orangnya,” kata Arkan. Ia kemudian menyuap lagi.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang