27| Gak pernah kangen

1.9K 92 4
                                    

Hari minggu telah berlalu. Senin, si hari menyebalkan datang sedikit tergesa, bahkan hawanya cukup tidak mengenakan jika dirasakan.

Kegiatan di kantor Sunshine Publishing telah dimulai sejak beberapa jam lalu. Pukul 9, itu waktu yang ditunjukan oleh jam di tangan Lucas.

Pikiran Lucas terbagi. Beberapa berkas di meja kerjanya saling menyahut untuk mencari perhatiannya. Beberapa diantaranya perlu ia tanda tangani setelah dibaca. Beberapa lainnya bahkan sudah menunggu sejak jumat lalu karena sempat ia tinggalkan begitu saja.

Disisi lain, Lucas perlu menyiapkan diri untuk sebuah pertemuan penting yang diadakan hari ini. Sejam dari sekarang tepatnya. Namun, pikirannya yang lain melayang pada sang asisten.

Addara—asisten sekaligus sekretaris Lucas—mendadak mengabari bahwa hari ini izin. Semalam wanita itu mengabari Lucas dengan pesan singkat.

Yang membuat pria itu memikirkan asistennya tidak lain karena khawatir. Seharian kemarin—selepas mengetahui Addara pergi bersama Arkan—ia sama sekali tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tentunya ia tidak akan menguntit untuk itu.

Semalam, selepas Addara mengabari tentang izinnya hari ini, Lucas mencoba menelepon wanita itu. Tiga kali ia mencoba dan tidak mendapat jawaban. Bahkan, dipercobaan terakhir, nomor Addara sama sekali tidak bisa dihubungi.

Addara hanya bilang ia tidak bisa hadir hari ini dan mengirim satu file berisi berkas yang baru dikerjakan. Lucas menjawab dengan menanyakan alasan namun tidak dibalas.

Huh!” Helaan napas kasar terdengar dari mulut Lucas. Ia menutup map terakhir yang baru ia selesaikan.

Pria di ruangan luas nan rapi itu menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel hitamnya. Membuka satu aplikasi interaksi dua arah kemudian berdecak kesal.

“Masa gua harus tanya Arkan.” Keluh Lucas. “Bodolah!” rutuknya kemudian menempelkan ponselnya ke telinga.

“Ah iya selamat pagi,” Lucas menjawab panggilan yang baru diterima di ujung sana. “Maaf mengganggu waktunya,” ia menggaruk pelipisnya. Sejujurnya, ia sedikit malu menelepon kliennya sendiri untuk menanyakan hal diluar pekerjaan.

“Addara dimana?” tanya Lucas dengan cepat. Ia merutuki diri sendiri sembari menepuk dahinya. Harusnya bukan gitu tanyanya!

Gimana, pak?” tanya dari seberang sana terdengar bingung.

Lucas menggigit bibir bawahnya. “Saya tahu Addara kemarin pergi dan hari ini dia izin kerja. Apa terjadi sesuatu kemarin?” tanya Lucas dengan keformalannya.

Arkan, sang lawan bicara sedikit terkekeh. “Oh ini bukan bahasan kerjaan, ga usah pake ‘saya,’ bang.” Kata pria itu. “Kita satu almamater,”

Lucas mengangguk. “Lu tau Addara dimana?” tanyanya tanpa ragu.

Di seberang sana, Arkan menahan kekehannya walaupun bingung dengan pertanyaan Lucas. “Gua anter dia sore kemarin, kenapa?”

Lucas berdecak. Ia tidak suka mengulang kalimat dan ia menjelaskan beberapa kali pada Arkan. “Addara hari ini gak masuk kantor. Gak ada alesan pasti izinnya kenapa,” jelasnya. “Gua yakin ada yang gak beres kemarin,”

Arkan terdiam di ujung sana. Menimbang sebelum menjawab. “Ga ada apa-apa. Nanti istirahat makan siang gua coba ke rumahnya,”

“Gak.” Jawab Lucas cepat. “Gak perlu. Makasih infonya,” lanjutnya kemudian menutup telepon tanpa menunggu jawaban sama sekali.

Bertepatan dengan itu, alarm dari ponselnya berbunyi dengan judul meeting yang terpampang di layarnya.

Lucas mendesis. Ia tak suka jika pikirannya terbagi-bagi seperti ini. Namun ia juga sulit untuk memfokuskan diri pada pekerjaannya.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang