Hampir satu bulan mengerjakan tugas di luar kota menemani sang bos, akhirnya Addara bisa menginjakkan kaki di rumahnya lagi. Ah ia tidak pernah meninggalkan rumah selama itu, entah, tapi rindu rasanya.
Addara tiba di rumahnya pada hari sabtu, malam tepatnya. Karena hari sebelumnya yang cukup membuat lelah, ia langsung mengistirahatkan tubuhnya kemarin malam.
Pagi ini, hari minggu, akan benar-benar Addara habiskan dengan berdiam di rumah. Entah untuk menonton atau tidur seharian.
Apa Addara tidak pergi mengajar atau masih menikmati hari liburnya? Jawabannya tidak. Lucas bertindak semena-mena untuk yang satu itu.
Beberapa hari sebelum pulang, pria itu memberi tahu Addara bahwa ia mengirimkan surat pengunduran diri atas nama Addara pada pihak bimbel. Itu membuat Addara murka. Betul-betul kesal. Lucas beralasan dengan tidak mau membuat Addara terlalu lelah bekerja. Padahal itu yang Addara cari. Ia tidak mau mati kutu kebosanan di rumah pada akhir pekan tapi malah dihancurkan begitu saja.
Sepulang kemarin pun perasaan Addara masih kesal. Mungkin jika bertemu dengan Lucas lagi, wanita itu masih akan menampilkan kekesalannya. Ingatkan Addara untuk terus protes pada Lucas.
Pukul satu siang Addara mendadak kebosanan. Tentu. Beberapa video di YouTube menemaninya sejak pagi namun ternyata itu tidak cukup. Apa ia perlu keluar sebentar untuk membeli camilan karena persediannya yang kosong di rumah? Itu terdengar menarik.
Celana kulot warna cream dipadu dengan kaus kebesaran warna hitam dan sandal rumahan menjadi pakaian yang Addara gunakan.
Letak minimarket tidak begitu jauh dari rumahnya. Mungkin sekitar 7 menit dengan berjalan santai.
Beberapa makanan ringan lengkap dengan minumnya dan beberapa kebutuhan rumah tangga sudah masuk ke keranjang yang Addara pegang. Tak lupa membayar dan pulang setelahnya.
Addara mengerutkan keningnya saat melihat sebuah motor terparkir di depan pagarnya.
“Gua kira lu minggat, Ra.”
Addara terkekeh. “Udah lama, Ar?” tanyanya saat sampai di depan pintu. Ia kemudian merogoh saku untuk mengambil kunci. Addara memang jarang mengunci pagar jika bukan untuk ditinggal lama.
“5 menit? 10 menit? Gua lupa,” jawab Arkan.
“Masuk, Ar.” Addara mempersilakan dengan membukakan pintu. “Mau minum apa?”
Arkan tertawa seraya masuk. “Air cukup, Ra.” jawabnya. “Gua kesini mau curhat,”
Addara yang sudah mengangguk dan melangkah menuju dapur mendadak berhenti. "Curhat?” tanyanya seolah tadi salah dengar.
Arkan mengangguk. “Minum dulu boleh?” tanyanya.
Addara terkekeh. Ia kemudian pergi menuju dapur dan menyiapkannya. “Aku kaget kamu tiba-tiba datang buat curhat.” Addara meletakkan dua gelas berisi sirup di meja. “Gak ngajar?” ia duduk di salah satu sisi sofa—sedikit berjarak dengan Arkan.
“Nah itu. Gua kaget denger lu gak ngajar lagi, gua kira lu seneng ngajar,” Arkan menyesap minuman yang Addara siapkan. “Gua cuma satu kelas tadi,”
Addara berdesis. “Kan Pak Lucas yang ngajuin pengundurannya,”
Arkan terkekeh. “Masih panggil bapak, Ra. Pacar sendiri juga,” ujarnya.
Ah Arkan memang tahu. Berita pengunduran diri Addara ia dengar, ia segera bertanya singkat pada Addara dan berakhir dengan berita Addara yang sudah kembali pada Lucas.
“Dia masih atasan aku,” balas Addara. “Jadi? Curhat kenapa?” tanya Addara.
“Permasalahan wanita.” jawab Arkan yang membuat Addara sedikit kaget. “Rumit sih, Ra.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejection(s) [END]
Teen FictionAddara tidak suka membaca buku atau menonton film dua kali. Ia sudah paham jalan cerita dan akhir dari cerita itu nantinya. Menurutnya, itu sama seperti menjalin hubungan yang sama dengan mantan. Tapi, bagaimana jika hubungan yang sebelumnya memang...