41| Makeup

3.3K 102 15
                                    

Setibanya di rumah, Addara langsung duduk terdiam di lantai dengan tubuh bersandar pada sofa. Ia menatap satu titik acak hingga sebulir air di matanya turun tanpa perintah.

Perasaannya hari ini sungguh campur aduk-tanpa rasa bahagia. Sedih, kesal, khawatir, bersalah, marah, dan sedikit menyesal. Itu semua terjadi karena pertemuannya dengan Diana.

Di perjalanan pulang tadi, sama sekali tak ada pembicaraan. Hening sekali bahkan hingga Addara turun tanpa pamit.

Lucas menjadi tujuan pikiran Addara saat ini.

Addara bingung dengan perasaannya. Tentang perasaan mana yang perlu ia dahulukan.

Addara sayang pada Lucas-sangat sayang. Pria itu bukan lagi orang asing yang baru masuk pada dunianya. Lucas adalah orang yang pertama terlintas di pikirannya jika hal buruk terjadi.

Namun, jika bicara masalah pernikahan, rasanya Addara sulit untuk mengatakan iya. Bayang-bayang sebuah keluarga tanpa kebahagiaan selalu hadir dalam benak Addara. Padahal, ia rasa ia akan selalu bahagia jika bersama Lucas.

Tak terhitung berapa kali Lucas mengajaknya untuk menikah baik itu serius maupun sekedar celetukan. Tapi akhirnya? Addara selalu mengatakan tidak. Addara bahkan meminta Lucas untuk tidak berharap mereka bisa menikah dan Lucas akan selalu mengalah dengan membuat bahasan baru agar mereka tidak berakhir dengan pertengkaran.

Addara yakin pada Lucas. Addara tau Lucas menyayanginya bahkan lebih besar dari sebuah kalimat sayang.

Lucas yang selalu perhatian dengan caranya sendiri. Lucas yang masih menunjukan perhatiannya bahkan saat mereka tidak sedang baik-baik saja. Lucas-yang menurut banyak laporan-sering menangis karena merindukan Addara. Lucas yang selalu membuat Addara bahagia.

Setetes air mata kembali muncul dari sudut mata Addara. Ingatan tentang Lucas yang selalu bersemangat membahas pernikahan hadir dalam pikirannya. Tapi tak lama, raut Lucas berubah setelah Addara menolaknya. Wajah Lucas yang sedih, lelah, kesal, dan datar. Namun, wajah itu tak bertahan lama karena pria itu selalu membuat keadaan jadi kembali baik.

Addara menghela napasnya. Diana benar. Masa lalu yang ia lewati bisa saja berlawanan dengan masa depan yang akan ia hadapi.

Suasana buruk sebuah keluarga di masa lalunya bukan patokan untuk kehidupan Addara di masa depan. Addara tak seharusnya memiliki pikiran buruk berkepanjangan.

Addara mengembuskan napasnya cukup kasar. Ia merogoh ponsel dari saku celananya kemudian menekan satu nomor untuk ia telepon.

"Kenapa, sayang?" suara hangat Lucas muncul. Hangaat sekali terdengarnya.

Addara tersenyum kecil. "Kakak lagi di mana?" tanya Addara dengan suara sedikit ditekan karena tak mau terdengar seperti orang habis menangis. Namun usahanya menghianati hasil.

"Kamu kenapa? Habis nangis?" tanya Lucas terdengar khawatir. "Saya di apartemen. Kamu di rumah?"

Addara menggeleng. "Gak ada yang nangis." Sangkalnya. "Iya, aku di rumah. Kakak mau kesini?"

"Hm." Deham Lucas. "Saya ke sana sekarang."

Addara terkekeh karena mendengar suara grasak-grusuk di seberang sana. "Hati-hati, kak."

"Kamu udah makan, belum?" tanya Lucas berbarengan dengan suara pintu tertutup. "Saya lagi pengen bakso sama es campur. Kamu mau apa?"

"Lagi laper. Apa aja aku makan."

Tawa Lucas terdengar. "Oke. Saya tutup dulu teleponnya." Telepon terputus setelah Addara menjawab.

Addara meletakan ponselnya di salah satu paha dengan posisi sila. Benda itu terlihat menyala dan menampilkan sebuah foto. Foto dengan pakaian formal saat ia dan Lucas di Bali. Selepas mereka balikan.

Rejection(s) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang