Pukul 9 tadi Addara sudah menyelesaikan membaca materi yang Bu Raya berikan. Sebetulnya ia sudah sedikit membacanya kemarin sambil makan malam, ia hanya perlu menyelesaikannya. Ia juga sudah menanyakan beberapa hal yang kurang ia pahami pada Bu Raya sekitar pukul 10. Ia tak lupa menanyakan mengenai waktu dan tempat pertemuan dan sedikit menceritakan kejadian kemarin. Bu Raya tidak memberi jawaban pasti. Ia hanya meminta alamat e-mail Addara, katanya nanti siang atau besok pagi, orang suruhan Lucas akan memberitahu kepastiannya melalui e-mail.
Addara sudah selesai dengan acara mandi dan berpakaian. Hari ini ia menggunakan white pants dengan atasan kemeja khaki berlengan pendek dan sepatu kasual ber-hak sekitar 4cm. Addara membawa backpack berukuran sedang yang sudah menempel di punggungnya. Tas itu berisi beberapa berkas yang ia harap akan membantunya. Ia akan pergi ke tempat bimbel yang Arkan katakan.
Addara mengunci rumahnya dan berjalan keluar gang untuk menunggu ojek online pesanannya. Tidak lama, yang ia tunggu pun tiba.
Memakan waktu sekitar 25 menit—keadaan lancar—untuk sampai di lokasi yang Arkan kirimkan. Beruntungnya, Sabtu dan Minggu jalanan memang tidak sepadat itu. Jadi kalau semisal ia diterima, itu tidak akan menyulitkan.
“Terima kasih, Pak,” kata Addara sambil memberikan helm pada sang driver.
Addara berjalan menuju sebuah gedung yang tidak begitu tinggi. Kiranya ada 3 lantai—tidak termasuk lobby. Arkan bilang, pria itu menunggunya tepat di depan pintu masuk.
“Ra!” seruan terdengar dari suara yang cukup familiar. Addara menoleh pada sumber suara dan tersenyum. Arkan ada di ujung bangunan dekat sebuah meja yang ia rasa itu adalah resepsionis. Addara mendekati Arkan.
“Hi!” sapa Addara. “Nggak nunggu lama, kan?”
Arkan menggeleng dengan senyum. “Kelas gua baru aja selesai,” jawabnya. “Ya udah, yuk gua anter ketemu yang punya tempatnya. Gua udah sempet bilang sama beliau tentang lu, katanya disuruh langsung aja,” jelas Arkan. Keduanya kemudian melenggang masuk sedikit lebih dalam ke gedung tersebut.
Tepat di sudut lobby, sebuah ruangan dengan pintu kayu berwarna cokelat gelap dengan plat bertuliskan Kantor di atasnya. Arkan membawa Addara masuk.
“Siang, bu,” kata Arkan setelah mereka masuk. “Ini orang yang saya ceritain beberapa hari lalu,” katanya.
“Siang,” sapa balik seorang wanita berusia pertengahan 30 yang langsung berdiri dari kursinya saat Arkan menyapa. “Oh ini! Duduk-duduk silakan,” katanya dengan ramah sambil menunjuk sofa di depan mejanya.
“Addara Olivia, Bu,” Addara mengulurkan tangannya yang langsung dijabat saat itu juga.
“Risma,” kata wanita tersebut. “Panggil Riris, ya, Mbak,” sambungnya dengan kekehan.
“Kalau gitu, saya tinggal, Bu,” Arkan menyela diantara 2 wanita itu. “Saya ada kelas privat setelah ini,”
“Oh silakan silakan,” kata Bu Riris mempersilakan.
“Ra!” Arkan mengepalkan tangannya dengan gerakan mulut memberi semangat tanpa suara. Itu membuat Addara menampilkan senyumnya.
“Duduk Mbak, silakan,” kata Bu Riris.
Obrolan dimulai dari perkenalan informal hingga pembahasan serius mengenai pekerjaan sebagai pengajar dilakukan cukup hangat. Bu Riris terlihat seperti orang yang sudah lama kenal dengan Addara. Sangat ramah dan juga enak untuk diajak bicara.
Menghabiskan waktu sekitar 45 menit bagi mereka untuk berbicara hingga mendapat kesimpulan dan keputusan akhir.
“Jadi, untuk sekarang, saya rasa Mbak cocok untuk mengajar di jenjang sekolah dasar terlebih dulu. Sekalian untuk menambah pengalaman juga. Mungkin 2 atau 3 bulan dari sekarang, Mbak bisa mengambil alih pekerjaan salah satu senior di sini untuk mata bahasa Inggris. Beliau akan berhenti untuk waktu tersebut,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejection(s) [END]
Teen FictionAddara tidak suka membaca buku atau menonton film dua kali. Ia sudah paham jalan cerita dan akhir dari cerita itu nantinya. Menurutnya, itu sama seperti menjalin hubungan yang sama dengan mantan. Tapi, bagaimana jika hubungan yang sebelumnya memang...