Jam mengajar Addara sudah selesai untuk siang ini. Hanya dua kelas yang masing-masing 1 jam. Ah iya! Jadwal Addara untuk mengajar memang selalu berbeda. Tergantung janji yang orang tua murid buat dan juga kesepakatan orang tua murid dengan pihak bimbel.
Ting!
Nathan
Kak, Nathan udah sampe cafenya
Kakak dimana?Masih di tempat bimbel. Baru selesai
Oh oke
Mau Nathan jemput ke sana?Ga usah. Udah naik ojek
Betul. Sesuai percakapan singkat kemarin sore, Addara membuat janji dengan Nathan. Pria yang umurnya jauh lebih muda darinya itu menyarankan untuk bertemu di salah satu café yang masih berada di kawasan gedung bimbel. Hanya memakan waktu sekitar 5 menit.
“Makasih, Pak,” kata Addara setelah mengembalikan helm yang ia gunakan. Ia pun kemudian masuk ke café yang Nathan katakan.
“Kak Dara!” seruan terdengar dari salah satu meja di salah satu sudut café dekat dengan kaca. Suara itu berasal dari seorang pria berkaos teracotta dengan bordiran kecil khas sebuah merek di dada bagian kiri. Terlihat pria itu menggunakan celana panjang berwarna hitam semata kaki dengan bawahan sepatu converse berwarna merah.
“Sorry nunggu lama,” kata Addara saat ia menghampiri Nathan. Wanita itu menggunakan kemeja putih polos dengan lengan ¾. Celana yang Addara gunakan cukup sederhana; blue jeans. Ia menggunakan flat shoes berwarna hitam.
Mengingat postur tubuh Nathan yang terbilang atletis—tinggi-bugar— dan tubuh Addara yang sedikit lebih pendek dari pria itu dengan badan ramping, siapa saja yang melihat mereka pasti mereka menganggap Addara dan Nathan adalah sepasang kekasih yang sedang bersiap untuk kencan. Belum tahu saja jika jarak umur dua manusia itu hampir 6 tahun.
“Ga gitu lama kok,” kata Nathan. “Jus jeruk gak pake gula,” sambungnya sambil menyodorkan satu gelas tinggi berisi cairan sedikit bertekstur berwarna oranye.
Addara tertegun. Tidak banyak orang yang tahu tentang itu selain teman kampusnya dan—
“Kakak kayanya beneran gak inget Nathan deh,” Protes Nathan. “Nathan, adiknya Bang Samuel sama Bang Lucas, Kak,”
Addara membulatkan mulutnya. “Loh beneran?” tanya Addara tak percaya. “Gak mungkin. Nathan dulu pendek, kamu terlalu tinggi.”
Nathan memajukan bibirnya. Ah Addara harus sadar bahwa lawan bicaranya ini masih anak sekolah. “Kita terakhir ketemu 3 tahun lalu, Kak. Nathan masih bocil waktu itu. Tinggi Nathan jauh di bawah kakak,”
Addara mengangguk sambil menatap wajah Nathan dengan mulut menyedot jus jeruknya. Benar! Terakhir kali ia bertemu dengan Nathan dan keluarganya adalah saat ia kuliah, pertengahan kuliah. Setelah itu, mereka sama sekali tidak pernah bertemu.
“Kak! Malah bengong!” tegur Nathan. “Kakak kenapa gak pernah ke rumah lagi?” protesnya.
“Karena aku udah ga ada kepentingan di rumah kalian,” jawab Addara.
Sebentar! Kenapa Nathan menanyakan hal seperti ini? Apa ia tidak tahu jika hubungan Addara dan abangnya sudah berakhir lama? Dan apakah ia tidak tahu alasannya?
“Mama sama Papa nanyain kakak mulu tau,” adu Nathan. “Trus pas aku kasih tau aku ketemu Kakak, mereka seneng, mereka ngajak Kakak ke rumah,”
Pernyataan Nathan membuat Addara melengo. Kenapa seperti ini? Ini tidak sejalan dengan beberapa hal. Bahkan bertolak belakang.
“Kamu tahu aku kerja di Sunshine Publishing?” tanya Addara yang mengabaikan pernyataan Nathan.
Tubuh Nathan memberikan reaksi terkejut lengkap dengan mata yang sedikit membulat. “Di kantor Papa? Sama abang juga?” Addara mengangguk tidak yakin. “Papa gak pernah cerita kalau dia ketemu Kakak, Abang juga. Beda kantor kali, namanya aja yang sama,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejection(s) [END]
Teen FictionAddara tidak suka membaca buku atau menonton film dua kali. Ia sudah paham jalan cerita dan akhir dari cerita itu nantinya. Menurutnya, itu sama seperti menjalin hubungan yang sama dengan mantan. Tapi, bagaimana jika hubungan yang sebelumnya memang...